(IslamToday ID) – Pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai secara etik menteri yang maju sebagai calon presiden (Capres) pada saat pemilihan presiden (Pilpres), semestinya mundur dari jabatannya di kabinet. Alasannya, menurutnya, seorang menteri yang maju sebagai Capres tidak akan fokus mengelola kementerian dengan baik dan menjalankan tugas membantu presiden secara maksimal.
“Kalau bicara etika, tidak mungkin seorang menteri fokus bekerja kalau dia mencalonkan diri menjadi calon presiden. Begitu dia resmi jadi calon presiden, mestinya secara etik dia harus mundur,” kata Feri, Selasa (1/11/2022).
Selain itu, menurutnya, akan mubazir bila negara masih menggaji seorang menteri yang malah fokus pada kepentingan politik pribadinya.
Adapun hal ini disampaikan Feri merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan menteri tidak perlu mundur dari jabatannya jika maju sebagai Capres tetapi harus mengantongi izin dari presiden.
Feri mengatakan, meski secara etik sebaiknya mundur, keputusan untuk memaksa menteri mundur atau tidak adalah hak prerogatif presiden. Ia berpandangan, pelaksanaan putusan MK tersebut akan berpulang pada pertimbangan presiden walaupun seorang menteri memang harus mengajukan izin jika mau maju sebagai Capres.
“Jadi memang pendekatannya etis. Sekali lagi, yang melihat diperlukan mundur atau tidak mundur memang harusnya presiden untuk mempertimbangkan betul-betul seorang menteri bisa bekerja dengan baik,” ujar Feri dikutip dari Kompas.
Diberitakan, MK memutuskan menteri yang ingin maju sebagai Capres maupun Cawapres tidak perlu mengundurkan diri dari jabatannya, tetapi mereka harus mendapat izin dari presiden.
“Saya mengabulkan sebagian permohonan pemohon, sehingga norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai pejabat negara yang dicalonkan oleh partai politik peserta pemilu atau gabungan partai politik sebagai calon presiden atau calon wakil presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya,” demikian jawaban Anwar Usman seperti dikutip dari laman resmi MK, Senin (31/10/2022).
“Kecuali Presiden, Wakil Presiden, pimpinan dan anggota MPR, pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota, termasuk menteri dan pejabat setingkat menteri, sepanjang menteri dan pejabat setingkat menteri mendapatkan persetujuan Presiden dan cuti/nonaktif sebagai menteri dan pejabat setingkat menteri terhitung sejak ditetapkan sebagai calon sampai selesainya tahapan pemilu presiden dan wakil presiden,” sambungnya.
Adapun Pasal 170 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur bahwa pejabat negara, termasuk menteri, harus mengundurkan diri dari jabatannya bila maju sebagai calon presiden dan wakil presiden.
Berikut isi Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu:
“Pejabat negara yang dicalonkan oleh partai politik peserta pemilu atau gabungan partai politik sebagai calon presiden atau calon wakil presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali Presiden, Wakil Presiden, pimpinan dan anggota MPR, pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota.” [wip]