(IslamToday ID) – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) digugat banyak pihak terkait kasus gagal ginjal akut yang mengakibatkan 199 anak meninggal.
Komunitas Konsumen Indonesia misalnya, menilai BPOM lalai lantaran tidak melakukan pengawasan secara ketat sehingga “kecolongan” obat yang mengandung cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG).
Ada pula yang menamakan diri Keluarga Korban Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA). Kelompok yang terdiri dari 42 orangtua ini menggugat tujuh pihak, yakni tiga perusahaan farmasi, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, serta BPOM.
Gugatan class action pertama berasal dari Komunitas Konsumen Indonesia. Ketuanya, David Tobing mengatakan landasan tuntutan tersebut karena BPOM dianggap melakukan perbuatan melawan hukum yakni asas keterbukaan dan profesionalitas.
Dalam hal keterbukaan, katanya, BPOM dinilai tidak cermat dalam mengumumkan daftar obat sirup yang tercemar EG/DEG. Ia merujuk pada pengumuman tertanggal 19 Oktober 2022 yang menyebutkan ada lima obat sirup yang memiliki kandungan berbahaya.
Tapi dua hari setelahnya, BPOM merevisi pernyataannya kalau ada dua obat sirup yang dinyatakan tidak tercemar. Lalu pada 22 Oktober 2022 badan ini kembali mengumumkan ada 133 obat sirup yang dinyatakan tidak tercemar EG/DEG. Namun tanggal 27 Oktober 2022 BPOM menambahkan 65 obat tambahan yang juga dinyatakan tidak mengandung cemaran berbahaya.
“Di tanggal 6 November 2022, justru malah dari 198 obat sirup, 14 obat dinyatakan tercemar EG/DEG,” jelasnya.
Menurutnya, perubahan temuan seperti itu menunjukkan konsumen dan masyarakat seperti dipermainkan dan adanya potensi kebohongan publik.
Sedangkan dalam hal profesionalitas, BPOM disebutnya tidak melakukan kewajibannya dalam hal pengawasan. Yakni melakukan pengujian laboratorium seluruh obat sirup yang telah memiliki izin edar.
“Ini yang menurut saya BPOM melanggar asas-asas pemerintahan yang baik. Karena ada obat sirup yang ditarik padahal punya izin edar, artinya sebelumnya dinyatakan aman oleh BPOM. Hal ini kan menunjukkan sekali kalau BPOM tidak melakukan kewajiban hukum dalam pengawasan pre-market dan post-market,” tegas David dikutip dari BBC Indonesia, Sabtu (19/11/2022).
Untuk diketahui, pre-market merupakan pengawasan pendahuluan yang dilakukan sebelum suatu produk beredar di masyarakat. Tahapan yang dilakukan antara lain sertifikasi, registrasi, dan distribusi produk. Pre-market di antaranya dilakukan saat pelaku usaha mengurus pendaftaran di BPOM.
Sedangkan post-market adalah pengawasan yang dilakukan setelah suatu produk beredar di masyarakat. Pengawasan ini dilakukan dengan melakukan inspeksi ke pasar, supermarket, maupun toko retail lainnya untuk mengambil sampel poduk yang dicurigai berbahaya dan kemudian dujikan ke laboratorium.
Bagi David, kalau betul BPOM telah melakukan pengawasan post-market maka kasus gagal ginjal akut tidak akan terjadi. “Badan publik seperti BPOM seharusnya melakukan tugas dan wewenang untuk menguji sendiri bukan diserahkan ke industri farmasi,” ujarnya.
“Jadi selama obat-obat itu belum memenuhi uji laboratorium di BPOM, saya menilai belum aman,” tambahnya.
Putusan seperti apa yang diharapkan? Gugatan dengan nomor register perkara 400/G/TF/2022/PTUN.JKT tersebut sedang dalam tahap perbaikan administrasi. Ia memperkirakan sidang akan dimulai bulan depan.
Di gugatan itu pula, Komunitas Konsumen Indonesia meminta majelis hakim agar menyatakan BPOM terbukti melakukan perbuatan melawan hukum.
Kedua, menghukum BPOM untuk melakukan pengujian terhadap seluruh obat sirup yang telah diberikan izin edar. Terakhir, menghukum BPOM untuk meminta maaf kepada masyarakat Indonesia. Gugatan secara perdata ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) ini didaftarkan pada 11 November 2022.
Gugatan Class Action
Keluarga korban ini tergabung dalam Keluarga Korban Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA), salah satunya adalah Siti Suhardiyati. Anaknya, Umar Abu Bakar, meninggal akibat gagal ginjal akut pada 24 September 2022 lalu. Kematian si bungsu itu, ungkapnya, berlangsung cepat hanya berselang 14 hari dari demam atau gejala awal yang dialami Umar.
Obat demam yang diresepkan dokter di sebuah klinik di Bekasi, Jawa Barat, yakni paracetamol sirup produksi PT AFI Farma, tak kunjung meredakan demam Umar, malah membuat kondisinya semakin parah dan berujung dengan diagnosis gagal ginjal akut.
Belakangan BPOM menyatakan obat penurun demam tersebut tercemar EG dan DEG. Nyawa Umar tidak tertolong setelah menjalani perawatan selama delapan hari di Pediatric Intensif Care Unit (PICU) RSUP Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Umar menjadi satu dari 199 anak yang meninggal dari jumlah 324 kasus.
Tapi keputusan untuk mengajukan gugatan class action atau warga masyarakat, bukan hal yang mudah. Ia dan suaminya Abu Bakar Sidik sempat merasakan kebingungan mengenai penyebab kematian Umar.
Ini karena dipicu pernyataan BPOM yang mengatakan obat yang dikonsumsi Umar yaitu paracetamol sirup produksi PT Afi Farma termasuk obat yang aman. Ditambah lagi, keduanya merasa tidak punya kekuatan menggugat pihak terkait.
“Saya masih memantau dulu sampai detik ini, karena belum ada kejelasan pasti penyebab meninggalnya anak saya. Untuk masalah menggugat, saya bingung juga untuk menggugatnya bagaimana, karena keterbatasan power di keluarga kami,” ujar Sidik.
Sementara, Siti Suhardiyati menilai gugatan ini demi menagih pertanggungjawaban pihak-pihak yang dianggap lalai. “Saya enggak mau hal yang sama terjadi lagi kepada orang lain. Jadi semoga saja dengan gugatan ini, pihak-pihak terkait segera bertanggung jawab terhadap apa yang telah dilakukan atas kelalaiannya,” ungkap Siti, Jumat (18/11/2022).
Namun keyakinan menempuh jalur hukum, kian kuat setelah BPOM menyatakan paracetamol sirup produksi PT AFI Farma tercemar EG dan DEG. Bagi keduanya, temuan tersebut menyingkap tabir penyebab kematian Umar.
Selain itu, ada bantuan dari lembaga hukum AGHP Strategic Law Firm yang siap memfasilitasi para korban dalam mengajukan class action. Tepat 48 hari setelah meninggalnya Umar, Siti menandatangani surat kuasa dan bergabung bersama 42 orangtua korban lainnya.
Ada tujuh pihak yang digugat, yaitu PT AFI Farma, PT Universal Pharmaceutical Industries, PT Yarindo Farmatama, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan BPOM.
“Akhirnya kami memutuskan untuk maju ikut menggugat, ditambah ada banyak dukungan moril dari keluarga, sahabat, sekaligus orang-orang terdekat yang info ke kita bahwa ini harus diperjuangkan agar ada efek jera bagi pihak-pihak yang terlibat,” kata Siti.
“Kami memperjuangkan keadilan bagi anak-anak yang sudah meninggal dan yang masih dirawat,” sambungnya.
Di balik itu, ia kecewa sebab hingga detik ini tidak ada satu pun dari pihak tergugat yang datang dan meminta maaf kepada keluarga korban.
Tanggapan BPOM dan Menteri Kesehatan
Kepala BPOM Penny K Lukito menyebut gugatan class action yang diajukan ke lembaganya adalah langkah yang salah. “Salah sekali ya, melakukan gugatan ke PTUN itu, karena tidak paham mereka. Salah sekali,” katanya, Kamis (17/11/2022).
Sebab kasus gagal ginjal akut ini terjadi karena sedang ada kelangkaan bahan baku obat. Situsi tersebut memberi celah pada pelaku industri yang curang dengan mengoplos bahan obat dengan pelarut EG dan DEG di atas ambang batas aman.
Penny juga mengatakan ada ketidaksepahaman di masyarakat soal sistem pengawasan BPOM dalam kasus ini. Ia mengklaim, pihaknya sudah melakukan tugas sesuai standar kebutuhan yang ada. Tapi, ada masalah kelalaian di industri farmasi sehingga menyebabkan korban meninggal.
Menghadapi gugatan ini, BPOM meminta Jaksa Agung Muda Tata Usaha Negara untuk mendampingi lembaganya di pengadilan nanti.
Sementara itu, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, saat ditemui di rangkaian acara G20, Kamis (17/11/2022), mengatakan bagi institusinya kasus gagal ginjal pada anak ini “telah selesai”, “Sudah nol kasus selama dua minggu, tidak ada kematian karena tidak ada kasus baru. Jadi di mata kami, kasus ini sudah selesai,” katanya.
“Yang penting adalah bayi-bayi yang sakit tidak ada lagi, yang meninggal tidak ada lagi, apapun penyebabnya,” lanjutnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan persoalan obat-obatan dan makanan bukan merupakan kewenangan kementeriannya. “Saya sebagai pemerintah mengucapkan sangat berduka cita dan kematian warga kita adalah hal menyedihkan dan harusnya tidak terulang kembali. Atas nama pemerintah, apapun lembaganya, itu tanggung jawab pemerintah,” kata Budi. [wip]