(IslamToday ID) – Penerbitan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No 18/2022 tentang Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2023 mendapat reaksi dari kalangan serikat buruh. Aturan tersebut dinilai masih menunjukkan ketimpangan.
Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos menilai hadirnya Permenaker tersebut belum menjawab tuntutan buruh.
“Sebenarnya ini masih menunjukkan ketimpangan, di mana sejak pandemi upah buruh tidak terjadi kenaikan, bahkan dengan kenaikan bahan bakar minyak (BBM) dan pajak pertambahan nilai (PPN) 11 persen berimplikasi dengan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok,” tegas Nining, Senin (21/11/2022).
Menurutnya, ketika upah terus ditekan rendah membuat hasil produksi para pekerja tidak bisa dibeli masyarakat, maka akan mempengaruhi daya beli dan pertumbuhan ekonomi. Dengan begitu, pendapatan rendah membuat daya beli juga semakin rendah.
KASBI menegaskan ketentuan maksimal 10 persen kenaikan upah minimum 2023 dalam Permenaker No 18/2022 tidak sejalan dengan tuntutan buruh.
“Tuntutan KASBI secara nasional (kenaikan upah minimum) 30 persen agar ada pemerataan dan peningkatan pendapatan buruh dengan situasi harga-harga semakin tinggi dampak dari kenaikan. (Dasar perhitungan) Dari hasil survei 64 item harga-harga kebutuhan ditambah pertumbuhan ekonomi dan inflasi,” jelasnya dikutip dari CNN Indonesia.
Di lain sisi, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat mengapresiasi hadirnya aturan baru Menaker soal penetapan UMP 2023 tersebut. Hal ini berarti secara tidak langsung pemerintah mengakui bahwa PP No 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan adalah ketentuan yang tidak menyejahterakan pekerja Indonesia.
Namun, Aspek menyayangkan formula baru yang digunakan dalam Permenaker tersebut. Mirah menganggap formula itu belum maksimal karena kenaikan upah minimum 2023 dibatasi dengan indeks tertentu.
“Seharusnya formula kenaikan upah minimum dikembalikan saja kepada formula yang ada pada PP No 78/ 2015 tentang Pengupahan, yaitu kenaikan upah minimum dihitung berdasarkan inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi,” jelas Mirah.
Terlepas dari itu, ia menegaskan agar kelompok pengusaha berjiwa besar dengan tidak ngotot menolak aturan baru Menaker itu, mengingat selama ini pemerintah sudah banyak memberikan insentif kepada pelaku usaha.
Aspek juga mendesak kepada gubernur dan bupati/walikota untuk memaksimalkan peran Dewan Pengupahan daerah agar besaran kenaikan upah minimum bisa maksimal demi kesejahteraan pekerja di Indonesia.
Sebelumnya, Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyampaikan lima catatan terkait aturan baru Permenaker No 18/2022 tentang Penetapan Upah Minimum 2023.
Salah satu catatannya adalah rumus perhitungan kenaikan upah dalam Permenaker No 18/2022 yang dianggap ruwet. Said lantas memberikan dua alternatif perhitungan.
Menurutnya, kenaikan upah minimum dihitung menggunakan inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi, di mana inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang digunakan adalah Januari-Desember pada tahun berjalan. Sedangkan alternatif kedua dengan menghitung standar biaya hidup alias living cost.
“Untuk Indonesia, standar biaya hidup dinamai kebutuhan hidup layak (KHL) yang terdiri dari 64 item, mulai dari harga daging, beras, baju, dan seterusnya. Hasil survei KHL inilah yang dirundingkan di Dewan Pengupahan untuk direkomendasikan kepada bupati/walikota maupun gubernur,” jelas Said, Ahad (20/11/2022).
Kendati, ia masih berharap kenaikan upah minimum 2023 menyentuh 13 persen sesuai tuntutan awal Partai Buruh dan KSPI, di mana rumus perhitungan yang digunakan adalah inflasi ditambah dengan pertumbuhan ekonomi. [wip]