(IslamToday ID) – Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan oleh pemerintah dan DPR masih separuh kolonial, karena belum bersih dari pasal-pasal kolonial.
Usman berpendapat bahwa pasal-pasal yang ada dalam KUHP baru tersebut sebagian masih peninggalan kolonial.
“Sebagai contoh, pasal tentang penghinaan terhadap presiden, kalau kita bandingkan dengan pasal tentang penghinaan terhadap Ratu Belanda misalnya di masa itu, masih sama, mirip,” jelasnya dikutip dari Kompas TV, Kamis (8/12/2022).
“Bahkan sekarang Belanda sudah tidak punya itu,” lanjutnya.
Pasal lain yang juga disoroti oleh Usman adalah pasal mengenai perbuatan makar, yang menurutnya sering digunakan untuk mengkriminalisasi orang-orang karena alasan politis. “Pasal makar sering digunakan untuk mengkriminalisasi atau memenjarakan orang-orang hanya karena alasan-alasan politik,” katanya.
“Di Papua banyak sekali, di Maluku banyak sekali, menjelang Pilpres kemarin, Bu Rahmawati dan beberapa tokoh politik juga dikenakan pasal makar. Jadi kalau dikatakan sudah bersih dari pasal-pasal kolonial, saya ragu. Jadi, ya separuh kolonial lah,” urainya.
Usman juga menilai substansi KUHP memukul mundur kemajuan HAM di Indonesia. Beberapa ketentuan yang diatur dalam beleid tersebut antara lain membatasi kebebasan berkumpul, sampai melarang kritik terhadap presiden.
“Apa yang kita saksikan merupakan pukulan mundur bagi kemajuan HAM di Indonesia yang telah diraih dengan susah payah dalam melindungi hak asasi manusia dan kebebasan dasar selama lebih dari dua dekade. Fakta bahwa pemerintah Indonesia dan DPR setuju mengesahkan hukum pidana yang secara efektif melemahkan jaminan hak asasi manusia sungguh mengerikan,” ungkapnya.
Usman mengingatkan dalam beberapa tahun terakhir ruang kebebasan sipil semakin sempit. Kondisi itu bertambah parah dengan terbitnya KUHP baru. Melalui beleid itu ketentuan yang selama ini melarang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden akan kembali berlaku.
Begitu juga dengan pemerintahan yang sedang menjabat dan lembaga negara berpotensi semakin menghambat kebebasan berpendapat, sambil mengkriminalisasi perbedaan pendapat yang sah dan damai dari masyarakat. “Pemidanaan demonstrasi publik tanpa izin jelas dapat membatasi hak untuk berkumpul secara damai,” tegas Usman.
Menurutnya, KUHP baru tersebut memberi kewenangan kepada pemerintahan yang berkuasa untuk menekan pendapat publik melalui penegakan hukum yang selektif. Hal tersebut akan menciptakan situasi ketakutan yang menghambat kritik damai dan kebebasan berkumpul.
Pendapat yang sama juga disampaikan pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, yang menilai KUHP ini masih setengah hati lepas dari kolonialisme. “Kalau menurut saya, ini masih sangat setengah hati. Gagal berangkat dari keinginan untuk menjadi hukum yang betul-betul lepas dari kolonialisme,” katanya.
Ia mencontohkan pasal tentang demonstrasi tanpa pemberitahuan, yang sebenarnya sudah tercantum dalam Pasal 510 dan 511 KUHP lama, tapi tidak berlaku lagi sejak tahun 1999, kini justru diberlakukan kembali.
“Pasal lama di 510 dan 511 di KUHP yang sekarang berlaku, yang peninggalan kolonial, yang nyatanya sudah tidak berlaku, sekarang jadi berlaku lagi,” ungkapnya.
“Malah yang tadinya sejak 1999 sudah tidak diberlakukan,” lanjut Bivitri.
Ia juga menyoroti pasal-pasal tentang delik pers dan penyebaran berita bohong, yang juga masih ada dalam KUHP baru. “Saya ingin bilang bahwa dalam melihat KUHP ini kita harus mempertimbangkan paradigmanya. Kita bisa bilang bahwa ini hanya bisa diadukan oleh keluarga, misalnya tentang kohabitasi,” ujar Bivitri.
Tapi, katanya, kita harus pertanyakan lebih lanjut, mengapa pasal-pasal itu tetap ada dan dipertahankan. “Kalau memang tidak mau digunakan sehingga dimoderasi sedemikian rupa, kenapa tidak dicabut saja,” pungkasnya. [wip]