ITD NEWS— Pemerhati dan Praktisi Hukum Zuhal Qalbu mengungkapkan pendapatnya terkait Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dengan sejumlah aturannya menuai pro dan kontra. Penggunaan KUHP sebagai alat kontrol sosial berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM dan sebaiknya menjadi opsi terakhir dalam penegakkan hukum di Indonesia.
“Bahwa hukum pidana memang sedikit banyak dapat melanggar hak asasi manusia, oleh karena itu penggunaan hukum pidana sebagai kontrol sosial harus dijadikan sebagai obat terakhir (last resort/ ultimum remidium),” kata Muhammad Zuhal Qolbu Lathof, yang mengambil spesialisasi hukum Criminal Justice System di Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) kepada ITD News saat diwawancarai.
Zuhal menjelaskan keberadaan KUHP yang baru disahkan pada Selasa (6/12) itu juga bisa memicu keresahan masyarakat. Terutama yang disuarakan oleh media massa dan aliansi masyarakat sipil.
Pasal-pasal tersebut diantaranya adalah pasal tentang penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara yang mana sifatnya delik aduan dan yang berhak mengadukan yaitu pimpinan pemerintah atau lembaga negara. Kemudian soal demonstrasi dapat dipidana apabila tanpa pemberitahuan dan menimbulkan keonaran.
“Sehingga dalam jangka waktu 3 tahun kedepan haruslah dapat kita kawal bersama bagaimana persiapan peralihan dari KUHP lama ke KUHP baru,” ujar Zuhal.
“Jangan sampai KUHP baru ini justru menimbulkan ketakutan baru bagi masyarakat untuk melakukan kegiatan yang mana secara prinsipnya hal tersebut telah dilindungi secara konstitusi,” ujar Zuhal.
Zuhal juga memberikan penekanan kepada para aktivis mahasiswa, karena KUHP baru yang disahkan pemerintah juga akan berpengaruh pada mereka. Para aktivi pergerakan mahasiswa harus mewaspadai aturan baru di KUHP tentang kebebasan berpendapat.
“Tentu saja ada pengaruhnya, oleh sebab itu organisasi pergerakan mahasiswa harus dapat memahami baik- baik serta memahami Pasal- pasal serta penjelasannya terkait kebebasan berpendapat didalam KUHP yang baru,” tandasnya. (Kukuh)