(IslamToday ID) – Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menilai tidak ada kegentingan memaksa dari lahirnya Perppu No 2/2022 tentang Cipta Kerja. Menurutnya, ketika tidak ada kegentingan memaksa, maka presiden tidak bisa dan tidak boleh menerbitkan Perppu.
“Saat ini Indonesia tidak dalam kondisi kegentingan memaksa,” katanya dikutip dari RMOL, Rabu (4/1/2023).
Menurutnya, alasan pemerintah yang menyebut perang Rusia-Ukraina sebagai dasar penetapan kegentingan memaksa adalah hal yang mengada-ada, sewenang-wenang, dan terkesan penuh rekayasa.
Tidak hanya soal kegentingan, Anthony juga menyoroti tentang penerbitan Perppu yang setingkat undang-undang wajib taat konstitusi. Singkatnya, Perppu tidak boleh melanggar konstitusi. Dalam hal ini, ia menyinggung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang pernah menangani uji materi UU Cipta Kerja.
Ia mengingatkan bahwa MK dibentuk oleh konstitusi dan menjadi kesatuan dengan konstitusi. MK diberi wewenang konstitusi untuk melakukan pengujian materiil UU terhadap UUD. Artinya, putusan MK dalam pengujian materiil bersifat final, wajib ditaati, dan tidak bisa diganggu gugat oleh pihak manapun.
“Oleh karena itu, putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat wajib ditaati oleh setiap pihak, termasuk pemerintah dan presiden,” tegasnya.
Maka itu, putusan MK hasil pengujian materiil harus dimaknai sebagai putusan konstitusi. Artinya, putusan MK merupakan perintah konstitusi yang wajib ditaati semua pihak, termasuk pemerintah dan presiden.
Untuk itu, Perppu yang setingkat undang-undang tidak bisa dan tidak boleh melanggar atau menggugurkan putusan MK yang merupakan perintah konstitusi, atau setingkat konstitusi. “Artinya, Perppu tidak bisa dan tidak boleh mengoreksi atau menggugurkan putusan MK,” tegasnya.
Anthony menilai, jika Perppu dipaksakan membatalkan atau menggugurkan putusan MK, maka itu berarti presiden memaksakan wewenangnya melebihi wewenang konstitusi. Hal ini merupakan pelanggaran berat terhadap konstitusi, bahkan dapat dianggap sebagai pembangkangan terhadap konstitusi yang sangat serius.
Kalau Perppu bisa menggugurkan putusan MK, maka berarti MK tidak diperlukan lagi di dalam konstitusi Indonesia, karena putusan MK bisa setiap saat digugurkan oleh presiden melalui Perppu. “Artinya, Perppu menjadi hukum otoriter dan tirani,” tegasnya.
Intinya, Anthony ingin mengatakan bahwa penerbitan Perppu Cipta Kerja yang menggugurkan putusan MK melanggar dua hal. Pertama, melanggar penetapan kondisi kegentingan memaksa yang diduga kuat mengandung unsur rekayasa. Kedua, melanggar putusan MK yang merupakan putusan konstitusi.
“Dengan demikian, Perppu Cipta Kerja berimplikasi membuat pemerintah menjadi otoritarian dan tirani, dengan menjalankan undang-undang otoritarian dan tirani,” pungkas Anthony. [wip]