(IslamToday ID) – Ahli hukum tata negara Refly Harun mengatakan langkah hukum yang bisa dilakukan masyarakat untuk melawan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) adalah dengan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, ia menilai kans MK untuk menolak Perppu (bila sudah disahkan oleh DPR) sangat kecil.
Menurut Refly, politik Istana sudah menguasai baik lembaga DPR maupun MK, sehingga gugatan itu terasa akan percuma. “Secara politik besar kemungkinan Perppu ini akan lolos. Tetapi secara hukum dan secara konstitusi ini tidak benar,” katanya, Kamis (5/1/2023).
Refly pun menyinggung soal polemik pemecatan Aswanto dari posisi hakim konstitusi oleh DPR yang menurutnya cukup melemahkan MK. Aswanto diberhentikan dengan alasan karena kerap membatalkan undang-undang yang telah disahkan DPR.
Presiden Jokowi kemudian melantik Guntur Hamzah untuk mengisi posisi yang ditinggalkan Aswanto. Refly lantas mewanti-wanti MK agar nantinya mengabulkan gugatan uji materi atau judicial review Perppu yang baru diterbitkan Jokowi pada Jumat (30/12/2023) lalu itu.
Sejumlah pihak salah satunya KSPI sebelumnya berencana menggugat Perppu tersebut ke MK. Perppu ini memicu kontroversi lantaran menjadi jawaban pemerintah atas MK yang sebelumnya menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
“Bagaimana kalau MK tidak membatalkan Perppu atau UU? Ya itulah tragedi demokrasi. Dia melempar kotoran di mukanya sendiri, karena jelas-jelas Perppu itu melanggar putusan mereka. Kok mereka malah diam saja atau membenarkan itu,” ujarnya dikutip dari CNN Indonesia.
Refly melanjutkan, bola panas Perppu Ciptaker saat ini berada di tangan DPR. Ia menilai sudah seharusnya DPR menolak Perppu tersebut dan tidak malah mengesahkannya sebagai UU.
Refly menyebut sejumlah alasan DPR harus menolak Perppu tersebut. Pertama, ia menilai tidak ada kondisi kegentingan untuk presiden menerbitkan Perppu Ciptaker. Kedua, Perppu tersebut bertentangan dengan putusan MK No: 91/PUU-XVIII/2020.
Dalam putusan itu, MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Pemerintah diminta memperbaiki dalam jangka waktu paling lama dua tahun hingga 25 November 2023 dengan melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya.
Selain bertentangan dengan putusan MK No: 91/PUU-XVIII/2020, penerbitan Perppu Cipta Kerja juga mengingkari hal-ihwal kegentingan yang memaksa seperti yang ditentukan dalam Pasal 22 Ayat 1 UUD 1945 dan putusan MK No: 138/PUU-VII/2009.
“Terlihat pemerintah dalam hal ini presiden hanya untuk meng-entertain kelompok kepentingan terutama pengusaha. Karena untuk rakyat banyak, sesungguhnya tidak ada kepentingan apa-apa,” ujar Refly.
Ia menyebut publik kemungkinan akan memaklumi apabila Jokowi menerbitkan Perppu dalam beberapa materi saja yang dibuktikan dengan alasan kegentingan, bukan malah menerbitkan Perppu untuk Omnibus Law. Ia pun menilai Perppu Ciptaker sarat kepentingan politik dan kelompok tertentu, bukan untuk masyarakat.
Dengan kondisi pemerintahan seperti saat ini, di mana 80 persen parlemen merupakan koalisi pemerintah, ia pun sangsi DPR akan melakukan penolakan terhadap Perppu tersebut. “DPR tidak akan berani berhadapan dengan Jokowi, karena Perppu ini kan Perppu oligarki, banyak cukongnya,” ujar Refly. [wip]