(IslamToday ID) – Menteri BUMN Erick Thohir mengungkap adanya potensi besar yang seharusnya dimaksimalkan Indonesia sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia.
“Kalau kita lihat juga dari data-data yang ada, kita tentu negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, dan kalau kita lihat data-data ini, kelas menengah kita pun akan makin besar angkanya,” kata Erick di acara ‘Silaturahmi Akbar Keluarga Besar Mathla’ul Anwar’ di Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta, Ahad (29/1/2023)
Dengan jumlah umat Islam sebanyak 87,2 persen dari total populasi 229 juta penduduk, kata Erick, acap kali hal tersebut justru membuat luput Indonesia dalam memaksimalkan potensi menjadi negara produsen halal terbesar di dunia. “Ini mungkin bisa terbesar di dunia, tetapi angka-angka ini yang kadang-kadang memabukkan kita,” ujarnya dikutip dari Liputan 6.
Sebab, selama ini Indonesia malah menempati posisi pertama dari lima besar pasar makanan halal dengan valuasi 147 miliar dolar AS. Disusul Bangladesh di posisi kedua dengan 125 miliar dolar AS, ketiga ada Mesir dengan 120 miliar dolar AS, Pakistan dengan 88 miliar dolar AS, hingga Nigeria dengan 86 miliar dolar AS.
Alhasil, kondisi Indonesia yang hanya menjadi pasar itulah yang dianggap Erick memabukkan. Indonesia hanya bangga terhadap status sebagai negara mayoritas muslim terbesar. Padahal, Indonesia tidak masuk dalam negara produsen halal terbesar di dunia.
“Kalau lihat data-data ekonominya, kita tidak masuk menjadi negara produsen halal terbesar di dunia, lima besar pun tidak. Yang masuk itu Brasil, Amerika, China yang bukan negara muslim terbesar,” tutur Erick.
Lantas, ia menjabarkan data berdasarkan sumber global economy report tahun 2020-2021 yang menyebutkan lima eksportir produk halal dunia pada 2020. Brazil menduduki peringkat pertama dengan valuasi 16,5 miliar dolar AS.
Kemudian peringkat kedua ada India dengan 15,4 miliar dolar AS, lalu ketiga adalah Amerika Serikat (AS) dengan valuasi 13,2 miliar dolar AS, ada keempat Rusia dengan 12,7 miliar dolar AS, dan kelima ditempati China dengan valuasi 9,5 miliar dolar AS.
“Persepsi ini yang harus kita putar balikkan. Kita tidak boleh hanya sekadar menjadi penonton dan hanya mengkonsumsi. Namun kita harus menjadi produsen,” pungkasnya. [wip]