(IslamToday ID) – Ombudsman RI menyatakan dua kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) menunjukkan kegagalan pemerintah dalam pengawasan obat yang mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) di atas ambang batas.
“Kami menganggap bahwa apa yang terjadi saat ini adalah kecolongan besar, karena pasca bulan Desember seharusnya kasus ini tidak terjadi lagi,” kata Kepala Keasistenan Riksa VI Ombudsman RI Ahmad Sobirin dikutip dari Republika, Jumat (10/2/2023).
Namun, lanjut Sobirin, justru kini muncul kembali kasus GGAPA. Ini berarti obat yang mengandung EG dan DEG ini masih ada di masyarakat dan masih menghantui orang tua. “Maka kami sampaikan masih melakukan monitoring terhadap laporan akhir kami yang kami mintakan kepada Kemenkes dan BPOM,” ujarnya.
Sobirin mengatakan, Ombudsman juga telah melakukan serangkaian pemeriksaan dalam investigasi atas prakarsa sendiri (IAPS) mengenai dugaan maladministrasi dalam penanggulangan kasus GGAPA pada anak ke Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan pengawasan obat sirup oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Menurut Sobirin, Kemenkes sejak awal tidak melakukan identifikasi atau pendataan sehingga kasus GGAPA ini sudah banyak terjadi. Kemudian, Kemenkes juga tidak menetapkan GGAPA sebagai KLB yang menunjukkan pasifnya respons pemerintah.
“Maka, pemerintah pasif dalam menangani kasus tersebut sebagaimana standar kebijakan dan standar pelayanan KLB, dan sampai saat ini tidak ada KLB yang ditetapkan pemerintah soal GGAPA ini,” ujarnya.
Selain itu, pemerintah juga tidak berkompeten dalam menyosialisasikan dan menegakkan aturan secara luas dalam hal tata laksana penanganan GGAPA. Pemerintah juga tidak menyampaikan secara luas mengenai penyebab GGAPA dari cemaran EG dan DEG yang tidak sesuai ambang batas.
Sementara itu, kepada BPOM, Ombudsman menemukan BPOM tidak optimal dalam mengawasi proses peredaran obat sirup mengandung EG dan DEG yang melanggar aturan ambang batas. Hasil investigasi, kata Sobirin, sudah disampaikan ke Kemenkes dan BPOM.
“Kami mintakan kepada Kemenkes dan BPOM dan ternyata BPOM sudah menjawab dan sudah melakukan beberapa langkah, tapi sebagai informasi, bahwa apa yang kami mintakan ke Kemenkes sampai saat ini belum ada respons. Kami sudah surati Menkes bulan lalu juga belum ada jawaban,” ujar Sobirin.
Karena itu, ia meminta pemerintah untuk serius dalam menangani kasus GGAPA agar tidak muncul kasus kembali. “Kami berharap Kemenkes serius untuk menangani GGAPA ini, jangan hanya berkomentar di media, tetapi secara masif melalui kewenangannya ke faskes dan nakes juga dalam menangani GGAPA,” ujar Sobirin.
Sementara, anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani mengatakan, Komisi IX DPR akan memanggil BPOM setelah muncul laporan mengenai dua kasus gagal ginjal akut. Komisi IX akan mempertanyakan alasan obat yang menyebabkan kasus GGAPA masih dapat beredar.
“Sebelum tutup masa sidang tanggal 15 (Februari), kita akan memanggil kepala BPOM dan kita agendakan tentang tindak lanjut penanganan kasus GGAPA pada anak, termasuk kasus baru yang beberapa hari ini kembali menyedot perhatian kita semua,” ujar Netty.
Ia mengatakan, Komisi IX juga akan menanyakan kepada BPOM perihal perbedaan hasil pemeriksaan obat sirip Praxion yang diperoleh BPOM dan Labkesda DKI Jakarta. Menurut Netty, hal yang sama juga sudah ditanyakan langsung kepada Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin.
Dalam kesempatan itu, Komisi IX meminta Kemenkes untuk melibatkan laboratorium independen dalam penelitian terhadap obat sirup yang mengandung EG dan DEG di atas ambang batas. “Kemarin kita tanyakan mengapa bisa ada hasil yang berbeda antara Labkesda DKI dengan laboratorium milik BPOM,” ujar Netty.
Karena itu, katanya, jika penjelasan yang disampaikan BPOM dan jajaran tidak memenuhi harapan publik maka DPR mungkin akan menggunakan hak interpelasi. Itu agar pemerintah, baik Kemenkes maupun BPOM, betul-betul bertanggung jawab dalam kasus GGAPA kali ini.
“Hasil rapat sangat dimungkinkan kita akan mendorong agar digunakannya hak interpelasi oleh anggota DPR RI, khususnya dari Komisi IX menginisiasi hak interpelasi itu agar pemerintah betul-betul bisa bertanggung jawab. Jangan lempar batu sembunyi tangan dari kasus yang sudah terjadi sejak September, bahkan sejak Januari (2022) sudah ada,” katanya. [wip]