(IslamToday ID) – Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi I Dewa Gede Palguna mengatakan pengubahan substansi putusan MK merupakan kategori pelanggaran kelas berat. Bahkan, kata dia, ancamannya bisa diberhentikan secara tidak hormat dari jabatan hakim konstitusi jika terbukti.
“Kalau benar seperti yang didugakan, itu serius,” kata Palguna Jakarta, Kamis (9/2/2022).
Palguna menjelaskan MKMK akan menjatuhkan tiga jenis sanksi nantinya kepada hakim yang terbukti mengubah putusan. Ia menjelaskan sanksi itu bertingkat mulai dari teguran lisan, teguran tertulis, hingga pemberhentian tidak hormat (PTDH).
“Dasarnya adalah Pasal 23 UU MK yang baru. Jadi jangan berandai-andai dahulu, saya hanya menyebutkan sanksinya saja,” ujar eks hakim konstitusi tersebut dikutip dari Tempo.
Selain itu, Palguna menyebut kasus dugaan pengubahan putusan yang belakangan menyeruak merupakan hal luar biasa. Sebab, kata dia, kasus seperti itu pertama kali terjadi sepanjang sejarah dan sangat merusak marwah Mahkamah Konstitusi.
“Kalau ada kesalahan pengetikkan itu sudah sering terjadi dan saya dulu yang paling rewel agar segera diperbaiki. Tapi kalau kasus pengubahan substansi, setau saya merupakan yang pertama,” ucapnya.
Mengenai soal keabsahan, Palguna mengatakan putusan yang sah adalah yang diucapkan oleh hakim saat persidangan. Hal itu, kata dia, merujuk pada Pasal 47 UU Mahkamah Konstitusi putusan yang diucapkan adalah yang mengikat.
“Selain itu diksi yang digunakan dalam undang-undang adalah ‘diucapkan’, karena kalau pakai ‘dibacakan’ bisa menggunakan dalih bagaimana kalau dibacakan hakim dalam hati,” imbuhnya.
Kronologi Pengubahan Subtansi
Kasus ini bermula ketika Zico mengajukan gugatan terhadap UU MK No.7 Tahun 2020 soal pemberhentian hakim Mahkamah Konstitusi pada Oktober 2022. Dia mengajukan gugatan tersebut terkait pemberhentian hakim konstitusi Aswanto oleh DPR yang kemudian diganti oleh Guntur Hamzah. Gugatan Zico tercatat dengan nomor perkara 103/PUU-XX/2022.
Dalam putusannya, MK menolak permohonan Zico secara seluruhnya. Yang kemudian menjadi masalah, Sebab, kalimat pada petikan putusan yang dibacakan hakim di ruang sidang berbeda dengan yang ada di salinan putusan.
Kalimat yang diucapkan hakim konstitusi Saldi Isra pada 23 November 2022 yaitu:
“Dengan demikian, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK….. dan seterusnya.”
Sedangkan yang tertuang dalam salinan putusan di situs MK yaitu:
“Ke depan, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK….. dan seterusnya.”
Zico menilai perbedaan kata itu memiliki makna berbeda. Kemudian dia, mengadukan masalah ini ke MK. Buntutnya, MK mengumumkan pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) untuk mengusut kasus ini.
Pada (9/2/2023) Zico diperiksa oleh Majelis Kehormatan. Dalam keterangannya, Zico mengatakan, dia menduga ada dua hakim konstitusi yang terlibat dalam pengubahan substansi putusan tersebut.
“Saya sampaikan ke MKMK bahwa saya mencurigai 2 nama hakim, gak boleh saya sebut. Tapi saya mencurigai 2 nama hakim,” ujar dia saat ditemui usai pemeriksaan.
Ia menjelaskan alasan kecurigaan dirinya terhadap dua hakim konstitusi tersebut. salah satu alasannya, peristiwa itu terjadi dalam waktu cepat yaitu sekitar 49 menit. Menurutnya, perlu ada koordinasi yang kuat untuk mengubah substansi putusan yang dibacakan dengan dokumen tertulis.
“Dengan kronologis waktu yang sangat cepat ini harus ada koordinasi, ada mastermind,” tuturnya.
Maka, kata dia, ada yang bertindak sebagai pelaku dan ada yang sebagai dalang. Zico pun menilai dua hakim yang dicurigainya itu paling mungkin melakukan pengubahan substansi putusan karena punya waktu dan akses dibandingkan hakim lain.
“Mereka yang paling memiliki waktu dan akses dibandingkan hakim-hakim lain untuk melakukan perubahan,” ucapnya.
“Dia adalah orang yang pasti dekat dengan pegawai, sehingga dia bisa dengan waktu cepat melakukan itu memerintahkan pegawai,” sambungnya.
Namun, meskipun hanya mencurigai dua hakim, ia tetap melaporkan sembilan hakim MK ke polisi soal dugaan pemalsuan substansi putusan perkara nomor 103/PUU-XX/2022 itu.
Sembilan hakim MK itu dilaporkan ke Polda Metro Jaya pada, Jum’at (10/2/2023), terkait tindak pidana pemalsuan karena diduga telah mengubah substansi putusan perkara nomor: 103/PUU-XX/2022 soal uji materi UU MK yang membahas pencopotan Hakim Aswanto.
Alasan DPR Mencopot Hakim Aswanto
Untuk diketahui, Alasan DPR mencopot Aswanto tak kalah mengagetkan. Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto mengatakan, kinerja hakim konstitusi itu mengecewakan lantaran kerap membatalkan produk undang-undang dari DPR.
“Tentu mengecewakan dong. Ya gimana kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia, dia wakilnya dari DPR. Kan gitu toh,” kata pria yang akrab disapa Bambang Pacul itu di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (30/9/2022).
Bambang juga mengatakan, Aswanto tidak memiliki komitmen dengan DPR. Dia pun tak menampik bahwa langkah DPR mencopot Aswanto merupakan keputusan politik.
“Dasarnya Anda tidak komitmen. Enggak komit dengan kita. Ya mohon maaflah ketika kita punya hak, dipakailah,” jelasnya dikutip dari Kompascom.
Aswanto merupakan hakim konstitusi yang dulunya terpilih dari usulan DPR. Ia bukan orang baru di MK. Dia menjabat sebagai satu dari sembilan hakim konstitusi sejak 2014 dan terpilih Kembali pada 2019 karena usulan DPR.