(IslamToday ID) – Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi berbicara blak-blakan soal maraknya wacana penolakan terhadap politik identitas jelang Pemilu 2024. Ia menilai ada anggapan yang salah di masyarakat mengenai politik identitas yang seolah-olah dikaitkan dengan agama, yakni Islam.
“Jadi politik identitas di Indonesia atribusinya semata-mata kepada agama, kita tahu agama Islam. Ini suatu yang salah, pertama berangkat dari suatu yang salah,” kata Ridho dalam pidato politiknya saat Rapat Kerja Nasional ke-1 Partai Ummat di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, Senin (13/2/2023).
Ia juga menyampaikan, narasi politik identitas di Indonesia sudah ditunggangi sekularisme. Ia menduga ada pihak yang mencoba memisahkan agama dari semua sendi kehidupan, termasuk politik. Padahal, menurutnya, politik tak bisa dipisahkan dari agama.
“Sedangkan nilai-nilai moralitas agama memberikan referensi yang absolut yang permanen yang tidak pernah berubah lintas zaman, lintas generasi. Kemudian kalau kita pisahkan dari pokitik, maka politik kita yang tanpa arah, politik yang nanti referensinya kebenaran yang relatif situasional,” ujar Ridho.
Atas dasar itu, ia berani menyebut Partai Ummat menganut politik identitas. Menurut Ridho, orang-orang harus memahami bahwa politik identitas adalah politik yang Pancasilais.
Dalam pidatonya, Ridho juga menyinggung soal fungsi masjid. Ia menilai sedianya politik gagasan tidak dilarang di masjid. Sebab, menurutnya, hal yang seharusnya dilarang di masjid adalah politik provokasi. “Yang seharusnya dilarang di masjid bukanlah politik gagasan, tapi politik provokasi. Keduanya sangat berbeda,” katanya.
Sementara saat ditemui terpisah, Ridho menilai pelarangan aktivitas politik praktis di masjid sebagai narasi yang menyesatkan. Ridho menyampaikan bahwa masjid di zaman Nabi Muhammad SAW justru menjadi tempat untuk bertukar gagasan dan ide.
Ridho meyakini masjid bisa menjadi titik nol dari sebuah perjuangan, termasuk jihad politik. Ia lantas meminta agar politik persatuan dan politik segregasi bisa dibedakan.
“Selain tempat ibadah, masjid seharusnya menjadi pusat inkubasi ide dan etalase gagasan, menjadi ruang pertemuan pikiran untuk menyusun rencana dan strategi keumatan, dan menjadi titik nol sebuah perjuangan, termasuk di dalamnya jihad politik,” jelas Ridho.
“Jadi harus bisa dibedakan politik gagasan dan politik provokasi. Harus bisa dipisahkan politik persatuan dan juga politik segregasi. Itu yang tampaknya mereka rancu,” pungkasnya. [wip]