(Islam Today ID) – Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), Raihan Ariatama, mengkritisi partai politik (parpol) yang sejauh ini hanya sebatas gimik saat mendekati generasi muda.
Diketahui, mayoritas pemilih di Pemilu 2024 berasal dari kalangan anak muda, terutama milenial dan Gen Z.
Raihan menilai, sejauh ini partai politik belum secara keseluruhan mampu menampung suara anak muda. Sebaliknya, kepedulian parpol terhadap anak muda hanya gimik belaka.
“Kalau kita lihat, untuk menyesuaikan teman-teman pemuda, milenial, dan generasi z, parpol masih terlihat secara gimik, secara simbolik. Artinya belum secara substansinya dari apa yang menjadi isu anak muda,” kata Raihandi kutip dari IDN times.com , Selasa (14/2/2023).
Raihan lantas menyoroti berbagai isu yang biasanya dikritisi anak muda, termasuk kesejahteraan masyarakat, perumahan, lingkungan, hingga pendidikan.
“Apakah itu isu perumahan, kesejahteraan, lingkungan, pendidikan, itu menjadi isu yang krusial daripada hanya sebatas gimik politik saja,” tutur dia.
Raihan tak memungkiri parpol punya kapasitas untuk merebut kekuasaan dengan mengisi jabatan-jabatan publik. Kendati begitu, dia mengingatkan agar parpol tidak lupa dengan fungsinya, termasuk sebagai sarana pendidikan politik.
“Parpol tetap jadi sebuah pilihan yang terbaik daripada sistem yang ada, atau jadi instrumen untuk merebut kekuasaan untuk mengisi jabatan-jabatan publik. Dan itu menjadi sesuatu yang penting. Tinggal bagaimana parpol menjalankan fungsinya, fungsi terkait dengan pendidikan politik, agregasi kepentingannya, fungsi aspirasi, legislasi, dan anggarannya,” tutur dia.
Di sisi lain, tiga besar parpol yang dipilih responden Gen Z dan Y cenderung sama dengan tiga generasi lain, yakni PDI- P, Partai Gerindra, dan Partai Golkar. Namun, proporsi akumulasi elektabilitas tiga parpol itu dibandingkan parpol lainnya berbeda setiap generasi, yakni Gen Z (31,2 persen), Y (33,7), X (35,6), dan Baby Boomers (50,6).
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya,mengatakan, Gen Y dan Z adalah pemilih cerdas. Mereka merupakan segmen pemilih yang paling kritis karena menguasai informasi. Untuk sepenuhnya dapat merangkul Gen Y dan Z, penting bagi parpol-parpol melakukan transformasi agar bisa merespons kecenderungan politik mereka.
Jika parpol mapan tak mampu mengakomodasi aspirasi anak-anak muda ini, lanjut Yunarto, ada potensi mereka akan jadi penyumbang golongan putih (golput) yang besar. Partisipasi politik generasi muda ini sangat ditentukan keterikatan isu yang dibawa parpol dengan persoalan keseharian. Gen Z dan Y lebih tertarik pada isu-isu riil keseharian dari pada isu-isu normatif.
Untuk bisa menyesuaikan dengan aspirasi ini, parpol harus segera mengubah pendekatan pembuatan kebijakan dan cara berkomunikasi dengan generasi muda.
”Parpol tak bisa lagi bicara isu-isu makro semata atau menggunakan bahasa normatif. Harus mulai ke isu mikro yang menyangkut keseharian dan masuk ke komunitas-komunitas mereka,” ujarnya.
Isu-isu keseharian itu, misalnya, tentang kelayakan transportasi publik yang sehari-hari mereka gunakan dan penyediaan ruang publik untuk mengisi libur di akhir pekan.
”Parpol harus bisa memenuhi kebutuhan konkret keseharian anak muda seperti itu,” kata Yunarto.
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira juga mengatakan, hal lebih esensial yang sebenarnya ingin dilihat Gen Y dan Z dari parpol adalah ada tidaknya kebijakan-kebijakan yang pro terhadap generasi muda.
”Hal ini menyangkut isu-isu yang menarik generasi muda, seperti soal demokrasi yang bersih, pemberantasan korupsi yang bagus, lingkungan,penganggur usia muda, dan entrepreneurship tapi yang khas generasi mereka,” katanya.
Hanya saja, baik Yunarto maupun Bhima menilai partai belum banyak membahas isu yang menjadi perhatian generasi muda.Posisi krusial Gen Y dan Z ini disadari parpol-parpol. Mereka mulai berupaya menyiapkan strategi khusus untuk mengelola potensi suara generasi ini.[MU]