(IslamToday ID) – Mantan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengaku kesal dengan pelaksanaan pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Pasalnya, selama ini para pegawai negara sekadar melaporkan tanpa memberi klarifikasi sumber hartanya dari mana.
“Terkait LHKPN itu, saya orang yang paling sebal itu dengan hal tersebut. Karena dilaporkan saja (harta kekayaannya) tapi enggak pernah diklarifikasi,” kata Saut dikutip dari CNN Indonesia, Selasa (28/2/2023).
Ia mengaku pernah melakukan disposisi atau meminta bawahannya memanggil seorang pejabat untuk menjelaskan dari mana barang atau harta yang dimiliki. Tujuannya untuk memperjelas sumber harta yang dilaporkan oleh pegawai negara yang bersangkutan.
“Saya minta cari barang yang dimiliki pejabat ini dari mana dia dapat. Karena kalau dia tidak bisa menjelaskan, seharusnya kita kan paham ada tindak pidana pencucian uang (TPPU),” tuturnya.
Saut menilai LHKPN seharusnya bisa dimaksimalkan. Bukan hanya menjadi wadah pelaporan, tetapi juga pendalaman soal harta kekayaan para penyelenggara negara. “Padahal itu bukan hanya untuk penyelenggara negara saja, tapi untuk semua pegawai negeri. Jadi emang harus dibenahi itu,” katanya.
Saut menyinggung soal TPPU yang bisa saja terjadi dan berkaitan dengan LHKPN. Ia menjelaskan TPPU terdiri dari placement, layering, dan integrasi. Menurutnya, tiga tahapan dalam TPPU tersebut berkaitan erat dengan LHKPN.
“Jadi, orang beli mobil atau tanah dari mana, itu kan TPPU (kalau tak bisa jelaskan). Orang bilang harus tahu dulu predicate crime-nya bahwa dia korupsi. Saya bilang enggak, bahkan itu masih jadi perdebatan kok,” katanya.
Selain itu, Saut juga mengakui sistem pajak di Indonesia rapuh terhadap berbagai masalah karena tidak punya arah yang jelas. “Sehingga pajak itu hanya dianggap sebatas target penerimaan yang akhirnya menimbulkan banyak masalah,” tuturnya.
Saut menilai ada banyak sisi negatif yang muncul. Salah satunya adalah mendompleng kepentingan para pegawai pajak. “Kepentingan itu misal ya korupsi, pencapaian prestasi, karier sampai jabatan, dan lain-lain. Jadi tidak diarahkan kepada pajaknya,” ucapnya.
Terlebih, bisa saja pemerintah ingin menjalankan program tertentu dengan penerimaan pajak sebagai sumber anggarannya. Hal itu membuat pemerintah getol mengejar masyarakat agar membayar pajak. Menurutnya, itu memang terjadi.
“Misalnya, tahun ini Indonesia mau bangun sesuatu. Orang-orang pajak itu disuruh ngejar warga agar bayar. Jadi umpamanya seperti diperas aja itu. Bahkan kalau perlu handuk sudah kering tetap aja itu peras sampai dapat,” katanya.
Saut pun mengungkit pegawai pajak Gayus Tambunan. Menurutnya, undang-undang yang ada saat ini membuat para pegawai pajak bisa berperilaku seperti Gayus.
Ia menyebut undang-undang saat ini bisa dijadikan tameng bagi pegawai pajak untuk melakukan tindak pidana korupsi atau pencucian uang. Alasannya, pegawai pajak dianggap sebagai pahlawan karena meningkatkan sumber pendapatan negara.
“Ingat kasus Gayus? Itu perilakunya tidak berubah sampai sekarang. Kalau bicara kepentingan, hal tersebut sudah dimulai dari pegawai pajak yang paling bawah sampai atas, bahkan menterinya punya kepentingan itu,” katanya.
“Misal jadi orang yang disebut pahlawan negara, padahal mereka bicara karier saja,” imbuhnya. [wip]