ITD NEWS (JAKARTA)— Wakil Ketua MPR Dr. H.M. Hidayat Nur Wahid, Lc,MA, HNW mengungkapkan banyaknya jemaah haji dan umrah di Indonesia bisa menjadi bagian dari diplomasi yang efektif antara Indonesia dan Arab Saudi. Ia mengatakan jumlah jemaah haji Indonesia mencapai 230ribu orang sementara jumlah jamaah umrah diperkirakan mencapai 1juta jemaah sebelum pandemi Covid-19.
“Bila kemudian haji dan umrah ini dimaksimalkan sebagai bagian dari diplomasi Indonesia yang bisa dikelola dengan progresif aktif, maka akan menjadi sumbangsih bagi terjaga dan meningginya marwah bangsa Indonesia di mata dunia Islam khususnya bahkan di masyarakat Internasional lainnya” ucap HNW dalam keterangannya kepada ITD NEWS belum lama ini.
Pengaruh UU Ciptaker
HNW juga menyinggung berubahnya regulasi UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah seiring dengan adanya UU Cipta Kerja. Ketentuan dalam UU Ciptaker menurutnya tidak memberatkan para penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU) dan penyelenggara ibadah haji khusus (PHIK).
Regulasi yang ada justru dalam rangka memastikan perusahaan atau lembaga yang mengelola pemberangkatan jemaah haji dan umrah agar terproteksi dan betul-betul melaksanakan amanah yang terbaik supaya tidak terjadi masalah.
“Pasal-pasal yang ada, misalnya terkait sanksi administratif, termasuk bila terjadi kegagalan keberangkatan maupun pemulangan, dalam UU Cipta Kerja yang kemudian direvisi melalui Perppu Cipta Kerja (dan sudah disahkan DPR menjadi UU) sesungguhnya tidak dalam rangka memberatkan penyelenggara yang justru telah memberangkatkan calon jamaah haji dan umrah dengan baik,” kata Hidayat Nur Wahid ketika menjadi pembicara pada Pembinaan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah dan Penyelenggara Ibadah Haji Khusus yang diselenggarakan Kanwil Kementerian Agama Pemprov DKI Jakarta, di Hotel Bidakara, Senin petang (27/3/2023).
HNW menuturkan regulasi yang baru itu akan menseleksi perusahaan atau lembaga yang mengelola pemberangkatan jemaah haji dan umrah yang bermasalah, tidak proven, dan tidak bisa menjalankan amanah dengan baik. Alhasil penyelenggara atau lembaga yang mengelola pemberangkatan jemaah haji dan umrah sadar diri untuk mematuhi dan mentaati aturan yang ada.
“Bagi penyelenggara yang tidak mampu aturan itu memang berat sehingga yang terjadi malah merugikan kepentingan jemaah. Bukan hanya merugikan jemaah, tetapi juga merugikan nama baik lembaga, nama baik Indonesia, dan nama baik penyelenggara ibadah umrah,” kata HNW yang juga anggota Komisi VIII DPR RI.
Umrah-Haji Setiap Negara
HNW dalam materi berjudul “Regulasi dan Kebijakan Umrah dan Haji di Luar Negeri” menjelaskan berbicara tentang haji dan umrah sesungguhnya juga berbicara tentang aturan atau regulasi. Setiap negara memiliki aturan regulasi yang berbeda-beda.
“Karena kita berada dalam negara bangsa, maka setiap negara mempunyai aturan dalam rangka memberangkatkan jemaahnya, baik haji maupun umrah. Regulasi atau aturan setiap negara belum tentu sama dengan negara yang lain,” katanya.
Di Malaysia, misalnya, ada pembedaan subsidi untuk calon jemaah haji. Bila di Indonesia setiap calon jemaah haji mendapat subsidi yang sama rata, di Malaysia jemaah haji yang masuk kategori sangat kaya membayar kekurangan yang lebih besar dari yang lain. Di Mesir, negara yang mengirimkan jemaah haji dan umrah yang cukup besar, ada aturan yang baru disahkan yaitu jemaah umrah terhubung dengan negaranya (pemerintah) agar bisa memonitor jemaah umrah yang mendapatkan masalah dan mencari solusi jika mendapatkan masalah.
Sementara di Pakistan, regulasi memberikan hukuman yang sangat keras kepada siapa pun yang mendapat amanah atau kepercayaan memberangkatkan jemaah haji atau umrah tetapi tidak melaksanakan dengan maksimal. “Di sini pentingnya negara hadir dalam rangka memastikan regulasi berjalan maksimal, mensosialisasikan regulasi, dan mengingatkan ada sanksi yang sangat keras bila aturan tidak dilaksanakan,” pungkas HNW. (Kukuh)