(Islam Today ID) – Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, mengemukakan pandangannya bahwa perselisihan besar rentan terhadap perubahan akibat manuver politik dari partai-partai di luar persekutuan. Salah satu contoh yang disebutkan adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
“Misalnya saja jika ada manuver-manuver politik yang dilakukan oleh PDIP, misalnya membangun komunikasi yang serius dengan salah satu atau dua partai dalam koalisi besar hingga akhirnya berkoalisi, pasti akan mempengaruhi koalisi besar,” kata Arya di kutip dari Antara, Kamis (13/04).
Selain itu, Arya yang melihat keberadaan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) sebagai magnet dari koalisi tersebut juga dapat menjadi penyebab kerentanan selanjutnya.
“Karena Pak Jokowi menjadi magnet pembentuk dan perekat serta jangkar koalisi, maka ketika interest beliau berubah dan ada pembicaraan yang serius dengan PDIP, maka hal itu akan mempengaruhi koalisi besar,” kata Arya.
Wacana pembentukan koalisi besar untuk Pemilu 2024 oleh partai-partai anggota Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR), muncul setelah momen silaturahmi para ketua umum Partai Gerindra, PKB, Golkar, PAN, dan PPP bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) di kantor DPP PAN, Jakarta, Minggu (2/4).
Arya Fernandes melihat gagasan pembentukan koalisi besar itu dimunculkan untuk mengatasi kebuntuan dan/atau kerumitan di dalam KIB dan KKIR.
Menurut Arya, kebuntuan yang terjadi dalam satu tahun terakhir itu bersumber dari ketidakpastian soal kandidat capres-cawapres oleh dua koalisi politik tersebut.
“Problem atau kerumitan itu tampak dari tidak adanya kepastian soal siapa yang akan didukung baik oleh KIB maupun KKIR, tidak ada perkembangan yang signifikan dalam setahun terakhir, dan juga tidak ada mekanisme yang disepakati dalam penentuan capres-cawapres,” ujarnya.
Arya melihat keberadaan Presiden Jokowi menjadi krusial karena berperan sebagai jangkar dan magnet pembentuk serta perekat perbedaan di antara parpol anggota KIB dan KKIR.
“Pak Jokowi menjadi jangkar karena beliau dianggap bisa mempertemukan kepentingan-kepentingan politik yang berbeda di antara partai politik tersebut,” ucap Arya.
Sebelumnya, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengatakan bahwa koalisi Kebangkitan Indonesia Raya dan Koalisi Indonesia Bersatu berpeluang bergabung. Prabowo menilai, kedua koalisi satu frekuensi.
“Ternyata ada. Jadi kami merasa dalam frekuensi yang sama ya, ada kecocokan, dan kalau dilihat, pimpinan partai kami sudah masuk. Cak Imin ya, kami sudah masuk timnya Pak Jokowi sebetulnya sekarang,” kata Prabowo usai acara “Silaturahmi Ramadhan bersama Presiden RI” yang digelar di Kantor DPP PAN, Pancoran, Jakarta Selatan, Minggu (2/4/2023).
Kendati demikian, Menteri Pertahanan itu belum mau menjawab secara gamblang terkait rencana penggabungan KIB dan KIR. Namun, dia memastikan, ketua umum partai masing-masing koalisi akan berkomunikasi lebih intens lagi.
Dalam kesempatan yang sama, Presiden Joko Widodo langsung melontarkan kata “cocok” seandainya KIB dan KIR bersatu untuk menghadapi Pemilu 2024
“Cocok. Saya hanya bilang cocok. Terserah kepada ketua-ketua partai atau gabungan ketua partai. Untuk kebaikan negara, untuk kebaikan bangsa untuk rakyat, hal yang berkaitan, bisa dimusyawarahkan itu akan lebih baik,” kata kepala negara kepada awak media.
PDI-P seolah menyambut baik wacana ini. Namun demikian, Ketua DPP PDI-P Puan Maharani mengingatkan, koalisi besar harus dibentuk dengan cita-cita dan visi misi yang sama untuk Indonesia.
Putri Megawati itu menilai, ketika semua partai politik di dalam koalisi besar sepakat dengan cita-cita yang akan dicapai, maka koalisi itu bisa terbentuk.
“Jadi, yang terbaik untuk bangsa dan negara yang terbaik untuk rakyat, tentu PDI-P pasti akan mendukung hal tersebut,” kata Puan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (4/4/2023).[MU]