ITD NEWS (JAKARTA)—
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mengingatkan Presiden Joko Widodo tentang pernyataanya terkait ‘cawe-cawe’ Pemilu 2024.
HNW mengkritisi, akan lebih maslahat bagi masa depan bangsa dan negara kalau presiden konsisten dengan sikap awalnya tidak cawe-cawe. Presiden cukup menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme konstitusi dan aturan hukum, serta kedewasaan partai politik dan pimpinan partai politik.
HNW juga mengingatkan tentang etika berbangsa dan bernegara serta sumpah jabatan yang harus dilaksanakan oleh presiden, hingga akhir masa jabatan. Agar meninggalkan legacy kenegarawanan.
“Etika politik dan pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa.”
“Sikap cawe-cawe terhadap pemilu sangat dikhawatirkan dapat menghadirkan ketidak sesuaian dengan ketentuan-ketentuan etika bernegara dan berbangsa yang dinyatakan oleh TAP MPR tersebut,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (8/6).
Cawe-cawe juga tidak sejalan dengan norma sumpah jabatan presiden yang tertuang dalam Pasal 9 ayat (1) UUD NRI 1945 dan diucapkan oleh Presiden Jokowi di sidang paripurna MPR. Isi sumpah tersebut adalah, “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang – Undang Dasar dan menjalankan segalanya undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”
Sumpah tersebut menyebutkan bahwa Presiden Jokowi akan melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Presiden dengan sumpah jabatannya, tidak lagi sekedar politisi, bahkan bukan sekedar kepala pemerintahan, tapi juga kepala negara.
“Sikap cawe-cawe dengan memihak, mengendorse dan memfasilitasi kepada kelompok politik dan bacapres tertentu saja dengan mengabaikan yang lain, mudah dinilai sebagai tidak memenuhi prinsip keadilan apalagi yang seadil-adilnya sebagaimana yang diucapkan dalam sumpah jabatan tersebut,” ujarnya.
HNW mengingatkan tentang sosok Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pada akhir periode kedua menjelang Periode 2014, sekalipun ada riak-riak, tapi tetap netral dan tidak cawe-cawe. Sikap SBY itulah yang membuat Presiden Jokowi terpilih pada periode pertamanya.
“Yang bila itu terjadi, maka itu juga akan jadi legacy sukses Presiden Jokowi mengelola peralihan kepemimpinan Nasional dengan spirit demokrasi kenegarawanan, dan itu menenteramkan bangsa dan partai-partai, dan karenanya riak-riak pun akan dengan sendirinya terkoreksi,” pungkasnya. (Kukuh)