(IslamToday ID) – Tragedi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di kerusuhan 27 Juli (kudatuli) 1996 yang belum juga diusut tuntas kembali diungkit Amnesty Internasional Indonesia.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan, sampai saat ini masih jadi pertanyaan siapa dalang penyerangan dan siapa yang harus bertanggung jawab. “Dan tidak kalah penting, mengapa tragedi ini belum juga diusut tuntas?” katanya dikutip dari Kompas, Jumat (28/7/2023).
“Padahal sejak awal reformasi, negara telah memiliki sistem hukum untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat seperti penyerangan 27 Juli. Kalau tidak diungkap, maka peristiwa serupa bisa terulang,” lanjutnya.
Usman mengatakan, pemerintah di era awal reformasi baru sebatas mengusut kasus itu melalui hukum pidana biasa, bukan peradilan HAM. Selain itu, aparat yang diperiksa hanyalah pelaksana lapangan, bukan pejabat berwenang yang terlibat dalam rantai komando penyerbuan kantor PDI itu. “Itu pun berujung dengan vonis bebas,” ucapnya.
Fakta-fakta tersebut, kata Usman, menunjukkan upaya penegakan pelanggaran HAM dari negara belum mampu memberikan keadilan. “Kasus ini masih jauh dari selesai, maka negara tetap harus mengusut tuntas kasus tersebut demi mencegah berulangnya intervensi politik partai dengan cara kekerasan,” jelas Usman.
Peristiwa kudatuli 1996 ditandai dengan penyerbuan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro No 58, Jakarta. Saat itu, kantor DPP PDI yang dikendalikan oleh pendukung Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum berdasarkan hasil Kongres Surabaya 1993, diserbu oleh kelompok pendukung Soerjadi, Ketua Umum PDI berdasarkan hasil Kongres Medan 1996 yang didukung ratusan aparat kepolisian.
Berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM yang diterbitkan pada 31 Agustus dan 12 Oktober 1996, tercatat lima orang tewas, 149 cedera baik warga sipil dan aparat keamanan, serta sebanyak 136 orang ditahan.
Komnas HAM juga menilai terjadi enam bentuk pelanggaran HAM dari kasus itu, yaitu pelanggaran asas kebebasan berkumpul dan berserikat, serta pelanggaran asas kebebasan dari rasa takut. Selain itu ada juga pelanggaran asas kebebasan dari perlakuan keji dan tidak manusiawi, dan pelanggaran perlindungan terhadap jiwa manusia, juga pelanggaran asas perlindungan atas harta benda.
Sepanjang tahun 2002–2003, pemerintah menggelar pengadilan koneksitas untuk kasus kudatuli. Namun pengadilan ini hanya menghadirkan para terdakwa yang disebut bertanggung jawab di tingkat lapangan.
Pengadilan saat itu hanya mampu membuktikan seorang warga sipil bernama Jonathan Marpaung yang terbukti mengerahkan massa dan melempar batu ke kantor PDI. Ia dihukum dua bulan 10 hari. Sementara itu, dua perwira militer yang disidang, yaitu Budi Purnama dan Suharto, divonis bebas. [wip]