(IslamToday ID) – Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai UU Peradilan Militer harus direvisi karena sudah tidak relevan untuk menangani tindak pidana khusus seperti kasus korupsi yang melibatkan personel TNI.
Ia juga menilai kasus dugaan suap seperti yang menyeret Kepala Badan SAR Nasional (Basarnas) Marsdya Henri Alfiandi, seharusnya ditetapkan sebagai kejahatan lintas profesi yang bisa diusut oleh penegak hukum di luar polisi militer (Puspom TNI).
“Aturan tersebut sudah tidak relevan karena tidak kontekstual dan diskriminatif. Aturannya harus diubah,” kata Fickar dikutip dari Kompas, Senin (31/7/2023).
Menurutnya, persoalan hukum yang menjerat Henri menjadi polemik karena ia ditugaskan di lembaga eksternal atau di luar TNI, tetapi masih menyandang status militer. Alhasil, ketika KPK menemukan dugaan suap yang dilakukan Henri dan anak buahnya, Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas RI Letkol Adm Afri Budi Cahyanto, terkait sejumlah proyek pengadaan di Basarnas maka tidak bisa langsung ditindak dan mesti diserahkan kepada Puspom TNI.
“Seharusnya korupsi itu dinyatakan sebagai kejahatan lintas profesi, sehingga KPK bisa menangani korupsi yang dilakukan di lembaga apapun termasuk di militer,” ujar Fickar.
Ia mengatakan, dengan masih berlakunya UU No 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, maka jika seorang anggota TNI melakukan tindak pidana maka yang berhak mengusut sampai menyidangkan perkara adalah Puspom TNI dan Pengadilan Militer.
“Memang aturan ini tidak adil. Mestinya hanya berlaku di waktu perang saja dan terbatas pada kejahatan yang bersifat militer, tetapi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) militernya masih mengatur seperti itu. Memang kelihatan tidak adil,” ujar Fickar.
Ia juga menyarankan agar personel TNI yang ditugaskan di institusi atau kementerian/lembaga lain dinonaktifkan sementara status kedinasan militernya.
“Mestinya militer yang bertugas di instansi sipil diberhentikan sementara sebagai militer, sehingga sepenuhnya tunduk pada hukum sipil, termasuk terhadap Undang-Undang Korupsi,” kata Fickar.
Ia menilai polemik yang terjadi pada Henri dan Afri merupakan aspek negatif dari penugasan perwira militer pada instansi sipil. Sebab ketika terungkap terdapat dugaan tindak pidana seperti korupsi, maka dikhawatirkan akan terjadi benturan terkait kewenangan penyidikan, seperti yang saat ini dialami oleh KPK dan Puspom TNI. [wip]