(IslamToday ID) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau mengkritik keras pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto yang menyebut warga Rempang, Batam tidak memiliki sertifikat kepemilikan lahan.
Direktur Eksekutif Walhi Riau Boy Jerry Even Sembiring menilai seharusnya negara dalam hal ini Kementerian ATR/BPN memberikan legalitas tanah itu kepada masyarakat sejak lama. Pasalnya, warga telah tinggal di lahan itu sejak 1834.
Ia pun menyinggung komitmen Presiden Jokowi terhadap 9 juta hektare yang akan ditata kepemilikannya lewat reforma agraria. Jokowi juga menyebut 4,9 juta hektare tanah negara bisa diberikan kepemilikannya pada rakyat.
“Selama hampir dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, kementerian ini ke mana saja. Skema Tora maupun perhutanan sosial seharusnya sudah terlaksana di Rempang sejak awal pemerintahan Presiden Jokowi,” kata Boy dikutip dari CNN Indonesia, Sabtu (16/9/2023).
Boy juga menyebut pernyataan Menteri ATR/Kepala BPN yang mengatakan masyarakat belum punya sertifikat merupakan pernyataan yang harus dikembalikan ke kementerian tersebut.
Menurutnya, Kementerian ATR/BPN seharusnya proaktif untuk melegalisasi tanah warga di 16 kampung Melayu di Rempang, bukan merelokasinya. “Mengapa tidak proaktif melegalisasi tanah-tanah yang dikuasai secara turun temurun oleh masyarakat adat dan tempatan di Rempang?” ujarnya.
Boy heran pernyataan pemerintah selama ini seakan ingin mengambil tanah yang telah ditempati warga jauh sebelum Indonesia merdeka. Menurutnya, relokasi bukanlah opsi.
“Pendekatan winwin solution bukan rencana yang tepat. Misalnya kamu punya rumah, dicaplok sama orang terus ditawari winwin solution. Saya terus terang berani mengatakan negara merampas tanah rakyat. Dari mana rumusnya,” ucapnya.
Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto menegaskan bahwa lahan tinggal sebagai pemicu kericuhan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, tidak memiliki sertifikat kepemilikan.
“Jadi, masyarakat yang menempati Pulau Rempang itu tidak ada sertifikat karena memang dulu, semuanya ada di bawah otorita Batam,” ujar Hadi dalam Rapat Kerja bersama Komisi II DPR RI di Jakarta, Selasa (11/9/2023).
Ia menjelaskan, lahan yang akan dijadikan lokasi Rempang Eco-City seluas 17.000 hektare ini merupakan kawasan hutan dan dari jumlah itu, sebanyak 600 hektare merupakan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dari Badan Pengusahaan (BP) Batam kepada perusahaan terkait.
Selain itu, Hadi mengatakan sebelum terjadi konflik di Pulau Rempang, pemerintah telah melakukan pendekatan kepada masyarakat setempat. Ia mengklaim hampir 50 persen dari warga menerima usulan yang telah disampaikan terkait relokasi untuk Rempang Eco-City. [wip]