(IslamToday ID)— Tren kekerasan dan kriminalisasi dalam proyek pertambangan dan energi diprediksikan akan terus berlanjut pasca Pemilu 2024. Berkaca dari hasil Pemilu 2019, hampir separuh anggota DPR, 262 orang terafiliasi bisnis, termasuk bisnis pertambangan.
“Ketika konflik kepentingan sangat besar maka yang terjadi kemudian warga akan jadi korban dan kami membaca hal yang sama, tren yang sama akan terus terjadi terutama terkait pemilu 2024 mendatang,” kata Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional, Melky Nahar dalam diskusi LP3ES ‘Sketsa Masa Depan Energi Pasca Pemilu 2024’ yang dikutip dari channel youtube LP3ES Jakarta pada Jumat 13 Oktober 2023.
“Ini karena yang pemilu 2019 waktu itu setelah dicek kan para caleg ada 262 yang terafiliasi dengan bisnis,” tandasnya.
Fakta yang terjadi di DPR juga berdampak pada keluarnya regulasi, kebijakan yang hanya menguntungkan kepentingan ekspansi bisnis. Artinya kebijakan yang lahir bertujuan untuk melindungi mereka dari perkara hukum atau pertanggungjawaban atas pelanggaran hukum yang dilakukan.
“(Persoalan) terpenting adalah soal korupsi politik soal bagaimana memperdagangkan pengaruh dan segala macamnya,” tutur Melky.
“Sehingga ketika terjadi pelanggaran hukum tidak ada penegakan hukumnya, dibiarkan, diabaikan pun kalau ada penegakan hukum sering kali bias kepentingan dan segala macamnya,” tandasnya.
Kriminalisasi & Ketakutan Warga
Melky mengungkapkan sejumlah undang-undang atau regulasi yang dimanfaatkan untuk mengkriminalisasi warga. Mulai dari undang-undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) hingga Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
“Kriminalisasi menjadi pendekatan yang sangat efektif. Tentu saja ini tidak hanya terkait dengan pasal kriminalisasi di Undang-undang Minerba atau Undang-undang Cipta Kerja terutama pasal 162 (UU Minerba),” ungkap Melky.
Ia menilai proyek pertambangan tak berjalan sebagaimana yang dijanjikan pemerintah, memajukan sektor ekonomi. Sejumlah konflik antara warga sipil dan pemerintah atau warga sipil dan perusahaan swasta bermunculan selama proyek berjalan, situasi semakin rumit di era Presiden Jokowi.
“Kalau kita mau membandingkan 10 tahunnya SBY, sama hampir 10 tahun pak Jokowi misalnya situasinya semakin menjadi rumit,” ucap Melky.
Proyek pertambangan sering kali merugikan masyarakat, warga sekitar lokasi tambang. Masyarakat bahkan menjadi korban kekerasan aparat demi untuk mempertahankan lahan yang selama ini menjadi sumber penghidupannya.
“Kalau kami cek di lapangan tambang justru semacam ancaman bagi warga terutama yang hidupnya tergantung pada pertanian, punya akses terhadap air bersih, bergantung pada kondisi laut yang tidak tercemar,” ujar Melky.
Tren kekerasan dan kriminalisasi, tren konflik, dan pola pendekatan dari perusahaan, pemerintah kemudian aparat keamanan cenderung represif. Situasi ini menjadikan warga dilingkupi rasa ketakutan tersendiri termasuk bagi para aktivis yang membersamai warga.
“Rempang salah satu contoh yang fenomenal soal bagaimana negara menjadi sumber ketakutan terutama melalui perangkat-perangkat hukumnya seperti aparat kepolisian,” jelasnya. [khs]