(IslamToday ID) – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menerbitkan catatan evaluasi bertepatan dengan empat tahun masa pemerintahan periode kedua Jokowi-Ma’ruf Amin. Jokowi-Ma’ruf disebut telah melenceng jauh dari konstitusi dan demokrasi.
Jokowi-Ma’ruf dinilai telah menutup pemerintahan dari jangkauan publik, salah satunya mengenai penunjukkan penjabat (Pj) Gubernur yang dianggap tidak transparan kepada publik.
“Sebagai contoh, setidaknya dalam dua tahun terakhir kami menyoroti langkah Presiden Joko Widodo lewat Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang begitu serampangan dalam mengangkat penjabat (Pj kepala daerah),” kata Koordinator Badan Pekerja KontraS, Dimas Bagus Arya, Jumat (10/11/2023).
Secara normatif, kata Dimas, konstitusi memandatkan agar kepala daerah dipilih secara demokratis. Sayangnya, dalam beberapa kesempatan penunjukan dan pengangkatan kepala daerah, baik gubernur, walikota ataupun bupati, telah melanggar aspek akuntabilitas publik.
“Prosesnya tak memperhatikan prinsip-prinsip accountability, participation, predictability and transparency. Ratusan Pj kepala daerah telah diangkat tanpa proses pelibatan publik yang maksimal,” kata Dimas.
Tak hanya itu, dugaan conflict of interest dalam pengisian Pj kepala daerah juga menguat. Misalnya, kata Dimas, terlihat pada penunjukan Nana Sudjana, seorang purnawirawan Polri yang menjabat Inspektur Utama Setjen DPR RI dan merangkap jabatan sebagai Pj Gubernur Jawa Tengah sejak 5 September 2023.
“Kedekatan Nana dapat dimaknai sebagai salah satu dugaan upaya mengamankan agenda politik menuju Pemilu 2024 mengingat Jawa Tengah merupakan salah satu lumbung suara,” ujar Dimas.
Menurutnya, kebijakan itu juga menunjukkan adanya pelanggaran konstitusional. Dimana seorang perwira TNI-Polri aktif menempati posisi Pj kepala daerah melanggar sejumlah ketentuan, mulai dari UU TNI, UU Polri, UU ASN, dan UU Pilkada.
Selama empat tahun belakangan ini di bawah kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf, kata Dimas, demokrasi mengalami kemunduran. Hal itu tampak dari sejumlah fakta, fenomena dan penelitian, di antaranya dari aspek akuntabilitas.
Jokowi-Ma’ruf dinilai berupaya menutup jalannya pemerintahan dari pengawasan dan intervensi publik. Dimana berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan strategis dibuat dengan proses partisipasi yang sangat minim.
“Dalam berbagai udang-undang bahkan watak otoritarian begitu mengemuka terlihat dari langkah Presiden Jokowi yang menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja sebagai produk inkonstitusional bersyarat,” terang Dimas.
KontraS, lanjutnya, menyimpulkan bahwa berbagai penyusunan regulasi dan kebijakan era pemerintahan Jokowi-Ma’ruf menunjukkan adanya fenomena executive heavy dan fenomena autocratic legalism. Jokowi-Ma’ruf dianggap melanggengkan praktik pemimpin otoriter atau otokratis.
Selain itu, Dimas menyampaikan situasi menyusutnya ruang kebebasan sipil juga tak kunjung mengalami perbaikan di periode kedua pemerintahan Jokowi. Pasalnya, ujarnya, watak antikritik negara masih tercermin kental dalam tindakan brutal yang dilakukan aparat di lapangan.
Lebih lanjut, KontraS juga menyoroti UU ITE yang dipandang telah menjadi momok utama dalam kebebasan berpendapat di ruang digital. Sayangnya, UU ITE tak kunjung direvisi, sehingga terus memakan korban setiap tahunnya.
“Adapun bentuk-bentuk penyerangan digital seperti hacking, doxing, dan profiling terus berlanjut tanpa ada proses pengungkapan serta penindakan tegas,” katanya.
Tak hanya itu, kemunduran demokrasi dan konstitusi juga terlihat di sektor ekonomi-pembangunan. Jokowi-Ma’ruf disebut berambisi tinggi melangsungkan pembangunan di beberapa daerah yang penerapannya tak berimbang terhadap HAM dan penjaminan ruang hidup masyarakat.
“Terlebih lagi, arahan presiden yang berupaya untuk memfokuskan penyelesaian Proyek Strategis Strategis Nasional (PSN) di 2023 dan 2024 telah berelasi lurus dengan timbulnya berbagai bentuk pelanggaran HAM kepada masyarakat,” katanya.
Kemudian, tanda-tanda menguatnya militerisme dan mundurnya agenda reformasi sektor keamanan yang dapat dilihat dari nirakuntabilitas institusi intelijen. Dimas menuturkan, KontraS melihat penyalahgunaan Badan Intelijen Negara (BIN) oleh Jokowi.
“Intelijen harus didayagunakan untuk kepentingan yang berkaitan dengan sistem keamanan nasional. Sayangnya, terdapat aroma penyalahgunaan instrumen intelijen untuk kepentingan politik presiden, salah satunya dengan memata-matai partai politik,” pungkas Dimas. [wip]