(IslamToday ID) – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi atas batas usia capres-cawapres berusia minimal 40 tahun atau pernah menjabat sebagai gubernur atau wakil gubernur.
“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (29/11/2023).
Untuk diketahui, gugatan diajukan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Brahma Aryana dengan nomor perkara 141/PUU-XII/2023.
Brahma menggugat Pasal 169 huruf q UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang telah dimaknai Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 perihal syarat batas usia minimal capres- cawapres.
Keputusan MK tersebut ditanggapi oleh pakar hukum tata negara dari STH Indonesia Jentera, Bivitri Susanti.
“Menurut saya sih agak berat kalau perhitungannya adalah perhitungan politik. Jadi kalau perhitungannya adalah penalaran hukum yang wajar, menurut saya tidak terlalu berat,” kata Bivitri dikutip dari YouTube CNN Indonesia, Kamis (30/11/2023).
Ia mengaku sudah mendiskusikan hal ini dan mengatakan peluang dikabulkannya gugatan masih ada. “Sebenarnya kalau dari logika atau penalaran hukum, yang kalau mau konsisten saja dengan putusan No 90, sebenarnya akan kelihatan dengan mudah, kira-kira komposisinya akan dikabulkan sebenarnya,” ujarnya.
Namun, ia menekankan beberapa keraguan keberanian dan sikap yang akan diambil hakim. “Tapi memang waktu kemarin kami diskusikan, kami juga ragu-ragu dengan keberanian hakim,” tegasnya.
Sebenarnya gugatan pemohon yaitu untuk memberikan kejelasan penafsiran atas putusan No 90, sehingga tidak membuat sesuatu norma yang baru. “Seharusnya sih tidak terlalu berat untuk memutus kalau dasarnya adalah penalaran hukum yang wajar,” tegas Bivitri.
Pertimbangan yang menjadi landasan MK menolak yaitu akan dikembalikan kepada pembentuk undang-undang. Namun, Bivitri dengan tegas menduga alasannya adalah ada ketakutan dalam arti kekhawatiran bahwa keputusan ini akan berdampak secara politik.
Lebih lanjut, ia mengkritik sikap tidak konsisten MK ketika menolak gugatan uji materiil ini. “Nah ini yang menurut saya jadi enggak konsisten, karena dalam putusan No 90 itu harusnya memang dikembalikan kepada DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang, tapi diambil alih oleh mereka sendiri (MK) sehingga mereka memutuskan waktu itu mengabulkan,” tegasnya.
Bivitri menambahkan bahwa masih ada cara lain untuk melawan putusan MK yang sembarangan itu. “Ini satu-satunya cara untuk memeriksa kembali adalah dengan masuknya perkara-perkara baru. Jadi kalau ke MK itu memang bisa uji proses namanya uji formil, atau bisa uji substansi namanya uji materiil,” ujarnya.
Selain itu, ia menegaskan pentingnya perlawanan hukum supaya putusan semena-mena MK dapat diperbaiki. “Supaya pemilu kita lebih legitimate dan demokrasi kita jadi enggak dipandang mundur dengan adanya model nepotisme dalam pembentukan putusan Mahkamah Konstitusi,” pungkasnya. [res]