(IslamToday ID) – Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Komisi Yudisial (KY) mengawasi persidangan praperadilan dua kasus dugaan korupsi, yakni Ketua KPK nonaktif Firli Bahuri dan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej.
Seperti diketahui, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mulai menyidangkan dua gugatan praperadilan yang menguji keabsahan penetapan dua tersangka, Firli Bahuri dan Eddy Hiariej.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, sebagai lembaga pengawas kode etik hakim, KY harus mengawasi dan memperhatikan setiap agenda persidangan yang berlangsung terkait praperadilan Firli dan Eddy.
“Selain memastikan bukti yang dihadirkan bisa membantah argumentasi tersangka, penting pula untuk mengawasi proses persidangan agar berjalan mandiri atau bebas dari intervensi pihak manapun,” kata Kurnia dikutip dari Republika, Senin (11/12/2023).
Ia menjelaskan, langkah itu sejalan dengan penerapan Pasal 40 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman juncto Pasal 20 ayat (1) huruf a UU KY. Menurut Kurnia, dalam dua aturan itu disebutkan demi menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dilakukan pengawasan eksternal oleh KY.
“Hal ini penting guna memitigasi hal-hal di luar proses hukum terjadi dalam persidangan Firli dan Eddy,” ujar Kurnia.
Ia menyebut pengajuan permohonan praperadilan merupakan hak setiap tersangka. Namun, ia tak memungkiri langkah tersebut kerap digunakan para tersangka sebagai jalan pintas untuk terbebas dari jerat hukum.
Kurnia menyebut proses persidangan cepat, ditambah adanya perluasan objek praperadilan pasca putusan MK No 21/PUU-XII/2014 membuat gerombolan koruptor silih berganti menguji keabsahan proses hukumnya. Bahkan, tak jarang proses persidangan dinilai banyak pihak ganjil dan putusannya pun akhirnya mengabulkan permohonan para tersangka.
“Apalagi, PN Jaksel dikenal banyak mengabulkan permohonan tersangka korupsi. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch, dari rentang waktu 2015-2021 setidaknya terdapat sembilan tersangka yang dikabulkan permohonannya oleh hakim tunggal di PN Jakarta Selatan,” ungkap Kurnia.
Salah satunya, Kurnia mencontohkan, kejanggalan proses persidangan praperadilan dalam permohonan tahap I yang diajukan oleh Ketua DPR RI periode 2016-2017 Setya Novanto terkait dugaan korupsi e-KTP yang ditangani oleh KPK pada 2017. Kala itu, hakim bernama Cepi Iskandar sempat menolak unjuk bukti yang disodorkan oleh Biro Hukum KPK.
Bahkan, pertanyaan yang diajukan Cepi melebar dengan mempersoalkan status kelembagaan KPK, ad-hoc atau permanen. “Keganjilan ini bukan tidak mungkin akan kelihatan kembali dalam persidangan praperadilan Firli dan Eddy,” ujar Kurnia. [wip]