(IslamToday ID) – Peneliti Indonesia Budget Center Arif Nur Alam menyoroti potensi bantuan sosial (bansos) dipolitisasi di tahun politik ini. Apalagi anggaran bansos untuk tahun 2024 mengalami kenaikan 12 persen atau Rp 53,3 triliun.
Menurut Arif, potensi tsunami politisasi bansos sangat mungkin terjadi. Ia mengatakan politisasi bansos potensinya besar karena sekarang ini baru dilihat pada porsi APBN, belum dilihat dari proporsi APBD.
Oleh karena itu, pemilih, penyelenggara, peserta, termasuk penyelenggara negara harus memastikan proses bansos tidak dijadikan bancakan untuk politik pemenangan.
“Ada kecenderungan kalau tren dana bansos itu naik signifikan. Untuk tahun 2024 angkanya naik Rp 53,3 triliun atau 12 persen dibandingkan realisasi anggaran perlindungan sosial tahun 2023,” ujar Arif dalam ‘Diskusi Waspada Tsunami Politisasi Bansos Pada Pemilu 2024’ dikutip dari Law-Justice, Senin (8/1/2024).
Menurut Arif, sebenarnya anggaran bansos 2024 direncanakan sebesar Rp 486,8 triliun. Namun angka ini kemudian naik sebesar 12 persen atau Rp 53,3 triliun dari realisasi anggaran perlindungan sosial pada 2023 sebesar Rp 443,5 triliun.
“Maka dari itu perlu transparansi dan akuntabilitas program bansos. Seiring dengan itu pelaksana bansos harus mengedapankan prinsip netralitas profesionalitas dan inklusif berkeadilan. Masyarakat perlu mengawal bansos. Mudah-mudahan pada masa tenang tidak ada bansos yang digunakan,” papar Arif.
Sementara, dalam kesempatan yang sama, Ketua Bawaslu RI periode 2017-2022 Abhan menyoroti bansos yang menjadi perbincangan publik lantaran kerap dipolitisasi. Abhan meminta Bawaslu untuk merekomendasikan penangguhan bansos di masa kampanye.
“Ini adalah negara bukan dari uang peserta pemilu gitu. Siapapun presidennya, siapapun menterinya, siapapun kepala daerahnya ya bansos selama anggaran negara ada, ya tetap ada gitu kan. Jadi tidak ada korelasinya dengan peserta pemilu,” ujar Abhan.
“Menurut saya ini di 2024 kan ada ya (bansos). Sementara pemilu itu tinggal satu bulan setengah. Menurut saya akan lebih baik manakala yang 2024 ini disalurkan setelah pemilu untuk menghindari potensi penyalahgunaan dan sebagainya,” lanjutnya.
Abhan menyebut Bawaslu bisa merekomendasikan hal itu supaya tidak ada tudingan fitnah dan semacamnya. Ia menegaskan usulan ini bukan berarti negara akan menghapus pemberian bansos.
“Saya kira Bawaslu bisa merekomendasi itu, ini bukan berarti mencegah. Ini tidak, tidak, tidak, tidak menghapus. Ya menangguhkan, karena apa? Kalau bicara potensi semua punya potensi untuk menyalahgunakan, semuanya punya potensi itu kan,” tutur Abhan.
Anggota Bawaslu RI Puadi menyatakan bansos merupakan program pemerintah yang tidak ada hubungannya dengan pemilu. Meski demikian, ia menyebutkan apabila bansos digunakan sebagai alat untuk menjanjikan atau memberikan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung atau tidak langsung, maka dapat dikualifikasikan sebagai politik uang.
Puadi menjelaskan bentuk menjanjikan atau memberikan yang diatur oleh undang-undang yakni seperti untuk memilih peserta pemilu tertentu, ataupun tidak menggunakan hak pilihnya, memilih parpol peserta pemilu tertentu, serta memilih calon anggota DPD tertentu.
“Politik uang tidak hanya dimaknai dengan pemberian saja, melainkan ketika sudah ada menjanjikan itu dinamakan politik uang,” ungkapnya.
Ia menerangkan dalam hal bansos digunakan dengan cara melawan hukum secara tidak sesuai mekanisme dan peruntukannya oleh pejabat negara untuk menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu, maka berlaku Pasal 547 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam hal ini, ia memastikan Bawaslu akan mengimbau kepada pihak terkait untuk tidak menyalahgunakan bansos tersebut untuk kepentingan pemilu.
“Kita (Bawaslu) nanti akan memberikan imbauan kepada pihak terkait dalam kaitannya dengan bansos yang berhubungan dengan kampanye pemilu. Tapi tidak kemudian penyelenggara untuk menahan (bansos),” kata Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran, Data, dan Informasi itu. [wip]