(IslamToday ID) – Pakar politik Ikrar Nusa Bakti turut berkomentar perihal dihentikannya laporan pelanggaran yang dilakukan kubu capres-cawapres nomor urut 2 oleh Bawaslu.
Ikrar mengatakan Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu dinilai tidak memiliki kekuatan untuk mengatakan banyak kampanye yang dilakukan kubu paslon Prabowo-Gibran melanggar.
“Yang menjadi persoalan ini bukan Bawaslu mampu atau tidak mampu melakukan satu pengawasan pemilu dengan baik. Karena Bawaslu selalu mengatakan tenaga kami kurang, bukan masalah itu tapi mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki power yang cukup atau keberanian yang cukup untuk mengatakan ini adalah sebuah pelanggaran,” kata Ikrar dikutip dari YouTube METRO TV, Kamis (18/1/2024).
“Mengapa demikian? Karena ada seorang yang sedang berkuasa. Anaknya itu ikut dalam pencalonan capres dan cawapres ini,” lanjutnya.
“Menterinya ikut juga di dalam pencalonan calon presiden-wakil presiden. Makanya kalau buat saya harus ada aturan. Pertama, menteri kalau mencalonkan diri harus mengundurkan diri, jangan cuma cuti. Masih bisa menggunakan kekuasaan atau dana fasilitas pemerintah.”
Kedua, ada aturan presiden itu harus dikurangi kekuasaannya pada saat sedang mencalonkan anaknya menjadi capres-cawapres sebab penggunaan abuse of power pasti akan terjadi.
“Kalau penguasa melakukan itu penyelenggaraan pemilu akan tidak memiliki keberanian untuk mengatakan terjadi pelanggaran,” ungkapnya.
Dari semua pemilu yang berlangsung di Indonesia, Ikrar mengatakan penyelenggaraan Pemilu 2024 lah yang tidak fair.
“Ini adalah satu pemilihan umum yang tidak berimbang karena salah satu paslon benar-benar didukung oleh presiden dan dua paslon lain tidak memiliki kekuasaan yang bisa membawahi aparatur negara, baik itu TNI, Polri, ASN, Satpol PP, atau kepala desa,” ucapnya.
Ikrar juga menilai seharusnya sebagai badan pengawas pemilu, Bawaslu mampu menegur paslon yang memberikan intimidasi terhadap paslon lain. Tapi yang terjadi justru sebaliknya dengan melakukan pembiaran. Jadi ia secara terang-terangan meragukan fungsi para pengawas pemilu tersebut.
“Kami sebetulnya sudah meragukan apakah itu KPU, Bawaslu, DKPP, itu sudah diragukan independensinya bisa melaksanakan tugas-tugas ini dengan baik, karena UU Pemilu 2024 boleh dikatakan tidak ada, yang ada hanya mengaktifkan kembali undang-undang yang dulunya pernah dibuat pada tahun 2017,” pungkasnya.
Kasus yang dihentikan Bawaslu adalah laporan mengenai Gus Miftah membagi-bagikan uang di Jawa timur dan laporan mengenai rekaman suara pejabat di Kabupaten Batu Bara yang hendak memenangkan paslon nomor urut 2. [ran]