(IslamToday ID) – Ketua Bawaslu RI periode 2008-2012 Bambang Eka Cahya Widodo mengatakan Bawaslu harus lebih tegas menanggapi pernyataan Jokowi yang mengatakan bahwa presiden boleh ikut berkampanye.
“Dalam kasus netralitas presiden mestinya ada pernyataan sedikit memberikan penekanan apa yang harus dilakukan, apa yang harus dihindari oleh presiden sebagai kepala negara, sebagai figur sentral dalam politik Indonesia,” kata Eka dikutip dari YouTube Satu Visi Utama, Senin (29/1/2024).
“Walaupun jelas dalam UU kita mengatakan dia (presiden) berhak diikutkan dalam kampanye, tapi kan dia bukan petahana yang sedang berkampanye untuk mempertahankan posisinya,” sambungnya.
Tentu ini ada sesuatu yang harus menjadi fokus Bawaslu, lanjutnya, karena kehadiran presiden dalam kampanye Pemilu 2024 adalah diikutkan.
“Diikutkan itu tentu harus ada prosedur-prosedur, seperti apa yang harus dipenuhi sehingga kemudian itu tidak cukup hanya dengan surat. Harusnya suratnya terbuka sehingga semua orang bisa mengawasi presiden sedang kampanye, cuti, atau bagaimana. Itu harus dipertegas,” terangnya.
Tidak tegasnya Bawaslu menyikapi pernyataan presiden, menurutnya, lantaran dua hal. Salah satunya kurangnya kewenanagan yang dimiliki.
“Ada dua hal yang harus kita perhatikan, satu Bawaslu itu namanya saja keren tapi kewenangannya tidak seperti yang sesungguhnya diharapkan oleh publik. Dalam beberapa hal tindakan-tindakan sangat bergantung pada institusi lain. Misalnya kepolisian dan kejaksaan untuk perkara-perkara pidana,” tutur Eka.
“Tapi sebetulnya Bawaslu itu bisa membangun opini publik yang kuat, misalnya tentang integritas pemilu itu. Tidak perlu masuk ke kasus tapi dia bisa dengan membuat garis tegas tentang netralitas,” lanjutnya.
Meski dalam penindakan netralitas dinilai cukup sulit karena kembali lagi tindakan netralitas itu dikembaliken kepada atasan dari institusi terkait untuk menjatuhkan sanksi. Itu menurutnya yang menjadikan tidak efektif.
“Dulu ada beberapa kasus Pilkada di Jawa Tengah. Ada ASN yang dinyatakan tidak netral kemudian diminta untuk dilakukan penindakan oleh bupati, justru oleh bupati dipromosikan pada posisi yang lebih baik,” katanya mencontohkan.
Di sisi lain ada aspek harapan dari masyarakat terhadap lembaga penyelenggara maupun pengawas pemilu bahwa mereka menunjukkan kinerja, menunjukkan sikap yang mengkritisi tindakan menyimpang yang berbahaya terhadap jalannya demokrasi.
“Tapi tidak banyak sikap itu dipertunjukkan, akhirnya Bawaslu lebih mirip birokrasi daripada sebuah institusi penegakan hukum yang kemudian mempunyai keberanian yang cukup untuk membuat deterns pada pihak-pihak yang melakukan pelanggaran,” ucapnya.
Meski diakui sebagai lembaga pengawas pemilu, Bawaslu memiliki banyak kelemahan, namun Eka melihat bukan hanya Bawaslu tetapi juga banyak faktor yang menyertai.
“Bahwa kita juga harus objektif bahwa regulasi pemilu kita banyak sekali kelemahannya, kekurangannya. Sanksi hukum atau sanksi pidana yang sering dihasilkan dari sebuah upaya keras yang dilakukan teman-teman Bawaslu seringkali di pengadilan jatuhnya hanya hukuman percobaan. Yang tidak menimbulkan efek jera padahal effort untuk melakukan penegakan itu cukup berat, misalnya dalam hal pembuktian dan segala macam,” pungkasnya. [ran]