(IslamToday ID) – Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan sutradara dan tiga pemeran film Dirty Vote tidak seharusnya dipolisikan. Menurutnya, pelaporan itu merupakan upaya pembungkaman terhadap pengungkapan fakta yang terjadi di lapangan.
“Sangat tidak layak (dilaporkan). Ini seperti pola-pola yang lain, bagian dari pembungkaman. Pelaporannya ke polisi targetnya adalah mempidanakan, mengkriminalkan, apalagi ke Bareskrim itu jelas sekali,” kata Isnur dikutip dari YouTube METRO TV, Rabu (14/2/2024).
“Kalau kita membaca yang dilaporkan pasal 27 ayat 5, pasal yang dilakukan oleh media massa dan media daringnya. Dan pasal-pasal ini kalau mau diupayakan protes dan lain-lainnya tergabung di Bawaslu. Jadi kalau membaca UU secara komprehensif dan dilaporkannya ke Bawaslu,” lanjutnya.
Jadi, katanya, seharusnya kepolisian menolak laporan karena bagian dari proses penengakan UU Pemilu.
“Seharusnya Bawaslu, dimana Bawaslu nanti membentuk tiga badan. Ada kepolisian dan kemudian kejaksaan. Ketiganya harus satu pendapat untuk melanjutkan,” paparnya.
Film Dirty Vote sendiri, menurutnya, merupakan bentuk pengungkapan ekspresi, selain itu para pemerannya merupakan dosen yang dilindung oleh UU Dikti.
“Ada pasal UU Dikti yang menjamin kebebasan di mimbar akademik. Itu sangat bebas sekali dan boleh disampaikan secara terbuka,” tuturnya.
Sementara mengenai masa tenang, jelasnya, dalam pasal 27 adalah bagian dari pemberitaan, penyiaran, kampanye.
“Kampanye kalau kita baca baik-baik UU maupun peraturan KPU-nya, dilakukan oleh peserta pemilu. Jadi baik secara substansi maupun secara prosedural ini bagian dari tindakan yang tidak berdasar,” papar Isnur.
Menyangkut isi, Isnur menilai, Dirty Vote merupakan jawaban dari banyaknya tantangan dari berbagai pihak yang selama ini menyangsikan adanya kecurangan yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu 2024.
“Banyak pihak menantang di mana bohongnya (Pemilu 2024) dan pemberitaan media adalah valid. Makanya kalau ada media yang tidak benar, ada pengaduannya ke Dewan Pers. Itu makin tidak berdasar lagi (pelaporan ke kepolisian). Kalau ada pemberitaan media yang dikutip dijadikan dasar oleh standar akademis, ilmiah, dan siapapun itu adalah valid,” pungkasnya. [ran]