(IslamToday ID) – Direktur CPI LSI Denny JA, Hanggoro Doso Pamungkas mengatakan data perolehan suara melalui hitung cepat atau quick count hasilnya tidak jauh beda dengan real count.
“Sebenarnya data dari quick count ini belum sampai 100 persen sudah kita simpulkan. Ada beberapa faktor yang kita lihat, sebaran data apa sudah cukup proporsional, kedua jumlah data, ketiga aliran data yang masuk apakah ada fluktuasi atau tidak. Kita tidak menemukan fluktuasi yang sangat signifikan dari data awal hingga hampir 100 persen,” kata Hanggoro dikutip dari YouTube METRO TV, Kamis (15/2/2024).
“Data ini mulai stabil di 20, 30, 40, dan 50 persen. Kalau boleh jujur sebenarnya kita sudah bisa menyimpulkan siapa pemenang Pilpres versi quick count. Karena data masuk sejak 50 sampai 70 persen itu stabil. Keunggulan 02, 01, kemudian 03,” sambungnya.
Perolehan suara 02, lanjutnya, dalam quick count cenderung stabil dari seluruh wilayah Indonesia.
“Yang menarik adalah 02 merata di semua segmen dan wilayah. Kalau kita lihat dukungan dalam quick count ini dan breakdown-nya mulai dari Indonesia timur hingga barat itu semua unggul 02. Terutama basis-basis besar. Wilayah yang kita duga gapnya jauh antara 01 dan 02 misalnya DKI Jakarta dalam quick count tidak kita temukan gap yang cukup signifikan. Selisihnya hanya 1 persen,” paparnya.
Sehingga, katanya, hasil hitung suara dari quick count dengan real count tidak akan banyak perbedaan. Lantaran hasil masuk sejal awal yang dimulai dari Indonesia timur hingga barat sama.
“Masuknya data sama dari timur, tengah, barat, tidak ada yang signifikan. 02 Tinggi di semua wilayah kecuali DKI Jakarta yang selisihnya 1 persen dengan 01, kemudian di Sumatera Barat, dan Aceh. Tiga provinsi ini yang diungguli 01 selebihnya 02 cukup signifikan,” jelasnya.
Hanggoro menyebut tingginya elektabilitas yang diperoleh kubu paslon 02 saat quick count berbanding lurus dengan survei yang telah dilakukan oleh beberapa lembaga survei belakangan.
Karena isu yang berhembus jelas pemilihan suara tidak mampu menembus mayoritas pemilih yang sebagian besar dari kalangan menengah ke bawah. Sedangkan gerakan yang belakangan disuarakan oleh kalangan civitas akademika hanya mampu menembus kalangan elite.
“Yang terjadi adalah pergeseran swing voters karena isu-isu yang kritis menjelang masa kampanye yang ditargetkan ada tiga hal. Pertama soft voters, kedua hard voters, ketiga yang belum menentukan pilihan. Ini yang menentukan peluang bergesernya suara, tapi tidak begitu signifikan, jadi ketika quick count berbanding lurus dengan survei,” pungkasnya. [ran]