(IslamToday ID) – Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menilai lonjakan signikan jumlah suara PSI dalam beberapa hari terakhir adalah sebuah anomali. Pasalnya, jumlah tersebut berbeda jauh dengan hasil quick count yang dirilis hampir semua lembaga survei.
Hingga hari Ahad (3/3/2024) pukul 17.00 WIB, suara PSI masih bertahan di angka 3,13 persen atau sebesar 2.403.367 suara. Jumlah itu sebelumnya sempat disorot karena naik sehari setelah hanya di angka sekitar 2,8 persen.
Menurut Pangi, jumlah kenaikan hingga sekitar 1,2 persen tersebut tidak sedikit. Persentase itu hampir setara 2 juta suara. Ia mempertanyakan sumber perolehan suara tersebut.
“Itu setara 1,8 juta suara. Itu dari mana sumbernya. Menurut saya wajar jadi perhatian. Karena misalnya kemarin ada informasi, ada kenaikan 119.000 suara, berarti ada apa, apa yang terjadi,” kata Pangi dikutip dari Law-Justice, Senin (4/3/2024).
Menurutnya, kenaikan suara PSI secara signifikan dan berbeda dengan umumnya hasil quick count, menjadi kali pertama selama gelaran pemilu dan pilpres. Menurutnya, meski tidak resmi, quick count atau hitung cepat selama ini dianggap menjadi kontrol atau pembanding hasil penghitungan suara KPU.
“Akhirnya kita bertanya, setelah reformasi, tidak pernah ada quick count yang meleset dengan real count. Kali ini terjadi,” katanya.
Pangi menilai proses rekapitulasi berjenjang dalam sistem penghitungan suara hasil pemilu di Indonesia memang memungkinkan terjadinya manipulasi. Praktik tersebut bisa terjadi dalam berbagai bentuk.
Misalnya, jual beli suara atau vote trading oleh partai atau caleg yang dipastikan gagal lolos ambang batas parlemen. Atau, manipulasi juga bisa dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki kekuatan dalam pemerintahan.
“Setiap tingkatan jenjang rekapitulasi kita itu memungkinkan terjadinya manipulasi. Penggelembungan suara. Vote trading. Ada elite strong man yang bermain sangat berani mengubah C1 Plano,” ujarnya.
Sialnya, kata Pangi, pihak yang melakukan kecurangan biasanya juga jemawa. Sebab, mereka meyakini masyarakat sipil tak akan mau repot-repot membuktikan kecurangan tersebut. Terlebih, penyelenggara atau pengawas pemilu juga tak melakukan sikap proaktif dan terkesan mendiamkan.
“Pertanyaannya, siapa yang mau membuktikan. Orang yang nggak dikasih gaji gimana cara membuktikannya kayak kita? Masa kita suruh membuktikan,” pungkas Pangi. [wip]