(IslamToday ID) – Akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menilai beragam masalah yang terjadi di Indonesia saat ini disebabkan oleh pemerintahan Presiden Jokowi yang bersikap otoritarian dan kerap mengabaikan kaum intelektual.
Hal ini disampaikan Ubed, sapaan akrabnya, saat menghadiri acara bertajuk “Universitas Memanggil” di Kampus Universitas Indonesia (UI), Salemba, Jakarta, Kamis (14/3/2024), yang diikuti para akademisi dari sejumlah perguruan tinggi se-Jabodetabek.
“Mengapa problem kita sedemikian parah, dari beberapa perspektif yang tadi disampaikan, kesimpulan yang saya tarik adalah ada secara terang benderang pengabaian terhadap kaum intelektual,” kata Ubed dikutip dari Kompas.
Menurutnya, ada tiga peristiwa dalam lima tahun terakhir yang menandakan bahwa aspirasi kelompok cendekiawan diabaikan pemerintah. Pertama, pada 2019 lalu ketika pemerintah dan DPR bersikukuh mengesahkan revisi UU KPK meski diprotes oleh mahasiswa dan para akademisi.
Ubed mengingatkan, ketika itu ratusan ribu mahasiswa turun ke jalan dan ada banyak guru besar yang mendatangi Istana agar UU KPK tidak direvisi, tapi aspirasi itu diabaikan.
“Bayangkan, kaum intelektual menyatakan kebenaran tidak didengar, dan faktanya hari ini indeks korupsi kita memang skornya terendah,” ujar Ubed.
Ia melanjutkan, para akademisi juga kembali diabaikan ketika pemerintah dan DPR ngotot mengesahkan RUU Cipta Kerja yang ramai diprotes oleh mahasiswa dan buruh. Ubed menyebutkan, mahasiswa dan buruh sudah mengingatkan bahwa RUU Cipta Kerja bermasalah karena dapat menciptakan kemiskinan sistemik.
“Bahkan sekelas Profesor Emil Salim mengingatkan itu agar jangan disahkan undang-undang yang sangat bermasalah. Tapi tengah malam, dengan diburu-buru, undang-undang disahkan, itu pengabaian paling melecehkan kaum intelektual,” ungkap Ubed.
Terakhir, ia menyinggung putusan MK No 90 Tahun 2023 yang membuka pintu bagi puta sulung Jokowi, Gibran Rakabuming maju sebagai calon wakil presiden meski belum cukup umur.
“Teman-teman ahli hukum tata negara meneteskan air mata, karena bayangkan hampir seluruh teori tidak bisa meruntuhkan ambisi pribadi kekuasaan,” ujar Ubed.
Ia itu berpandangan, praktik tersebut adalah praktik otoritarian dengan gaya baru yang dibangun melalui proses populis. “Yang dari wong cilik, dari gorong-gorong lalu seolah-olah dia merasa bahwa dia dipilih mayoritas bangsa ini, lalu dengan cara itu dia bisa melakukan apa pun,” pungkas Ubed. [wip]