(IslamToday ID) – Pakar hukum tata negara Fahri Bachmid menilai seharusnya kritik yang dilayangkan para guru besar di UGM dan UI tidak sampai pada aksi jalanan seperti yang pernah terjadi pada tahun 1998 lalu.
Apabila aksi yang selama ini dikaitkan dengan kecurangan pemilu, menurutnya, dapat ditindaklanjuti melalui jalan yang sudah disediakan yakni Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Terlebih kritikan tersebut datang dari para akademisi yang seharusnya sudah memahami dan mengetahui aturan main.
“Di negara ini komponen kampus, masyarakat ilmiah tentu memiliki peranan yang cukup signifikan. Kita mainkan peran-peran konstuktif ini dengan cara-cara yang tentunya juga dibenarkan secara hukum,” kata Fahri seperti dikutip dari YouTube METRO TV, Sabtu (16/3/2024).
“Sebenarnya aspirasi itu sangat baik. Pikiran kampus harus ditampung sebagai sebuah koreksi dan masukan yang konstruktif tentunya. Apabila seruan itu harus kita memperbaiki tata kelola pemilu kita, berarti seruan itu, aspirasi itu kita arahkan untuk bagaimana UU Pemilu diperbaiki. Tapi kalau seruan itu bersifat korektif terhadap tata kelola pemilu saat ini, baiknya kita mendayagunakan lembaga-lembaga otoritatif yang ada saat ini,” lanjutnya.
Jika memang benar ada kekacauan dalam sistem pemilu yang baru saja dihelat, kata Fahri, tuntutan bisa dilakukan setelah KPU menetapkan hasil suara nasional pada 20 Maret mendatang.
“Kita mesti menunggu tanggal 20 (Maret) akan disahkan (suara sah nasional) dan setelah itu semua pihak punya hak untuk mempermasalahkan itu ke MK. Fase ini kita masih menunggu bahwa nanti akan terbukti tidak. Apakah MK bisa mendeclairkan ada suatu masalah hukum yang sistemik seperti yang didalilkan selama ini,” bebernya.
Jadi, menurutnya, sebelum melakukan aksi lebih jauh lagi para guru besar diminta untuk mengikuti yang saat ini sedang berjalan.
“Kita bersabar sedikit untuk memahami dinamika dan mekanisme tata negara yang saat ini sedang berproses, sembari mengajak orang untuk menyampaikan pikiran-pikiran kritis itu secara lebih konstruktif,” ujarnya.
Ia juga dengan tegas tidak setuju apabila aspirasi para akademisi tidak didengar lantas mengubahnya menjadi aksi jalanan.
“Saya sedikit kontra dengan narasi karena aspirasi tidak diakomodir oleh pemerintah lalu kita menggeser gerakan kita menjadi gerakan jalanan. Padahal hakikat dari negara hukum, dibentuknya institusi hukum untuk memindahkan perdebatan jalanan menjadi perdebatan yang lebih beradab dalam ruang sidang,” pungkasnya. [ran]