(IslamToday ID) – Pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini mengatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) berpeluang memutuskan Pemungutan Suara Ulang (PSU) dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2024.
Seperti diketahui, MK telah menyelesaikan sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) atau sengketa Pilpres 2024 pada Jumat (5/4/2024) lalu. Putusan MK soal sengketa Pilpres 2024 rencananya bakal dibacakan pada Senin (22/4/2024) mendatang.
“Kalau dari proses persidangan, peluang untuk putusan itu mengarah pada PSU terkait dengan pergerakan distribusi bansos (bantuan sosial) yang menyasar titik-titik suara pasangan calon (paslon) lawan gitu,” kata Titi dikutip dari Tempo, Selasa (9/4/2024).
Ia meyakini MK tidak hanya berfokus pada angka-angka perolehan suara pada PHPU Pilpres kali ini. Menurut Titi, ini sudah terkonfirmasi dengan pemanggilan empat menteri Presiden Jokowi pada sidang Jumat (5/4/2024).
Pada sidang terakhir, MK menghadirkan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Sosial Tri Rismaharini.
Selain itu, MK juga menghadirkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam sidang terakhir itu.
“Tinggal apakah MK melihat relevansi antara bansos dengan politisasi perangkat desa dan birokrasi, untuk kemudian memerintahkan pemungutan suara ulang di titik-titik yang terdampak,” ujar Titi.
Ia memperkirakan MK tidak akan mendiskualifikasi paslon 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Dosen Hukum Tata Negara UI ini juga menyinggung soal salah satu petitum atau permohonan dari Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md untuk mendiskualifikasi Prabowo-Gibran.
“Kalau sampai diskualifikasi sih saya meragukan MK akan sampai pada konklusi itu,” ujar Titi.
Ia lalu menjelaskan mengapa kecil kemungkinan MK akan mendiskualifikasi paslon 02 itu. Pertama, Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud sama-sama mempermasalahkan Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia capres dan cawapres. Padahal, MK menjadi bagian dari putusan tersebut.
“Jadi, tidak mungkin MK menggunakan PHPU dengan menempatkan Putusan 90 sebagai suatu pelanggaran,” tutur Titi.
Kedua, katanya, keabsahan pencalonan Gibran akibat pelanggaran etik oleh KPU. Menurut Titi, bobot kesalahan ada pada KPU. Jika belajar dari perselisihan hasil Pilkada, MK tidak pernah mendiskualifikasi calon akibat pelanggaran yang dilakukan KPU.
“Saya meyakini akan ada kejutan dari Putusan MK. Sesuatu yang akan berkontribusi bagi perbaikan pemilu Indonesia, terdekat setidaknya menjadi pembelajaran untuk Pilkada 2024,” ujar Titi.
Menurutnya, MK kemungkinan akan memerintahkan proses verifikasi ulang. Namun, putusan ini jika calon yang dirugikan mendapatkan perlakuan diskriminatif dari KPU, sehingga tidak diverifikasi secara adil. [wip]