(IslamToday ID) – Pakar hukum tata negara Feri Amsari menilai hakim Mahkamah Konstitusi (MK) “bermain mata” untuk memaklumi praktik politik anggaran gentong babi dalam sidang sengketa Pilpres 2024.
Menurut Feri, politik anggaran gentong babi seharusnya terbukti apabila pemerintah menggunakan insentif dana anggaran tersebut pada tahun pemilu.
“Jadi kesalahan cara membuktikan, cara memahami ini, bukan berarti hakim konstitusi dan para kuasa hukum tidak paham, tapi karena memang mereka sedang bermain mata untuk memaklumi ini,” kata Feri dikutip dari Kompas, Selasa (23/4/2024).
Istilah politik gentong babi sebelumnya sempat disinggung oleh ekonom senior Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri saat dihadirkan sebagai ahli dalam sidang sengketa Pilpres 2024 di MK beberapa waktu lalu.
Saat itu, Faisal menyinggung banyaknya alokasi dan jenis bantuan sosial (bansos) yang digulirkan pemerintah selama masa Pilpres 2024. Salah satunya penyaluran bansos untuk mengatasi dampak El Nino.
Padahal, menurut Faisal, skala El Nino yang dirasakan masyarakat pada tahun ini lebih kecil dibandingkan tahun 2021. Namun, anggaran yang digelontorkan pemerintah jauh lebih besar tahun ini dibandingkan 2021.
Menurut Antonius Saragintan dan Syahrul Hidayat dalam buku Politik Pork Barrel di Indonesia (2011), politik gentong babi adalah usaha petahana untuk menggelontorkan dan mengalokasikan sejumlah dana dengan tujuan tertentu. Istilah “tujuan” dalam pengertian tersebut merujuk kepada usaha agar dirinya terpilih kembali dan menjabat selama beberapa tahun ke depan.
Sementara itu, Feri menjelaskan, politik anggaran gentong babi merupakan turunan dari politik gentong babi. Sama seperti Faisal Basri, Feri menilai, penyaluran bansos pada masa pemilu merupakan bagian dari politik anggaran gentong babi, namun bukan politik gentong babi dalam artian yang lebih luas.
Menurutnya, masalah dalam hal politik anggaran gentong babi ini terkait bukan soal persetujuan anggaran bansosnya, melainkan soal penyimpangan dan penggunaannya di tahun pemilu.
“Nah kata tahun pemilu ini yang menjadi penting. Bukan kata, ini sudah disetujui anggarannya. Jadi dalam politik gentong babi dan anggaran gentong babi, tahun pemilunya itu yang menjadi bukti yang signifikan dan itu terjadi,” jelasnya.
Bahkan, menurut Feri, persoalan politik anggaran gentong babi juga sudah terjelaskan dalam sidang. “Itu sebenarnya terjelaskan dengan baik dalam persidangan, baik diakui atau tidak diakui oleh para menteri. Mereka telah menggunakan insentif dana anggaran di tahun pemilu,” imbuhnya.
Ia menambahkan, untuk melihat ada atau tidaknya politik anggaran gentong babi dalam Pilpres yaitu dengan melihat apakah ada insentif atau bantuan pemerintah yang dikucurkan di tahun pemilu.
Hal ini, lanjutnya, tidak bisa dibuktikan dengan membuktikan adanya puluhan juta masyarakat yang mencoblos calon tertentu usai menerima bansos atau bantuan dari politik anggaran gentong babi tersebut.
“Alat buktinya adakah kebijakan dan tindakan penyelenggara negara menggunakan insentif bantuan negara di tahun kepemiluan. Kalau ada sudah terbukti itu, sudah tidak fair pemilunya,” kata Feri.
“Nah kalau ternyata ada bukti bahwa orang menerima bantuan gentong babi, lalu mengubah pilihan itu hanya bonus, bukti utamanya di kebijakan dan tindakan penyelenggara negara. Dan itu terjadi, gitu ya,” sambungnya. [wip]