(IslamToday ID) – Jakarta menjadi kota dengan kualitas udara terburuk nomor satu di dunia pada Jumat (24/5/2024) berdasarkan Indeks Kualitas Udara (AQI) pada pukul 05.20 WIB.
Tercatat, AQI di Jakarta berada di angka 184 atau masuk dalam kategori tidak sehat dengan polusi udara PM2.5 dan nilai konsentrasi 103 mikrogram per meter kubik.
Angka itu masuk kategori tidak sehat bagi kelompok sensitif, yakni dapat merugikan manusia ataupun kelompok hewan yang sensitif atau bisa menimbulkan kerusakan pada tumbuhan ataupun nilai estetika.
Sedangkan kategori sedang yakni kualitas udaranya yang tidak berpengaruh pada kesehatan manusia ataupun hewan, tetapi berpengaruh pada tumbuhan yang sensitif dan nilai estetika dengan rentang PM2,5 sebesar 51-100.
Lalu, kategori baik yakni tingkat kualitas udara yang tidak memberikan efek bagi kesehatan manusia atau hewan dan tidak berpengaruh pada tumbuhan, bangunan, ataupun nilai estetika dengan rentang PM2,5 sebesar 0-50.
Kemudian, kategori sangat tidak sehat dengan rentang PM2,5 sebesar 200-299 atau kualitas udaranya dapat merugikan kesehatan pada sejumlah segmen populasi yang terpapar.
Terakhir, berbahaya (300-500) atau secara umum kualitas udaranya dapat merugikan kesehatan yang serius pada populasi.
Sementara kota dengan kualitas udara terburuk urutan kedua yaitu Lahore (Pakistan) di angka 164, urutan ketiga Hanoi (Vietnam) di angka 164, urutan keempat Kinshasa (Kongo-Kinshasa) di angka 158, urutan kelima Tashkent (Uzbekistan) di angka 156, urutan keenam Delhi (India) di angka 137.
Urutan ketujuh Tel Aviv-Yavo (Israel) di angka 129, urutan kedelapan Cairo City (Mesir) di angka 128, urutan kesembilan Dhaka (Bangladesh) di angka 120, dan urutan kesepuluh Baghdad (Iraq) di angka 114.
Beberapa waktu belakangan, Jakarta telah menjadi sorotan nasional dan global karena kualitas udaranya yang buruk, mengarah pada kategori tidak sehat dan tak layak hidup. Hal ini telah memicu kekhawatiran banyak orang yang ingin memahami penyebab polusi udara yang mengancam kesehatan dan lingkungan di Kota Jakarta dan sekitarnya.
Meskipun banyak yang menyalahkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara sebagai penyebab utama dari buruknya kualitas udara di Jakarta, namun fakta-fakta yang diungkapkan menunjukkan hal lain.
Menurut paparan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya yang disampaikan dalam Rapat Terbatas Kabinet di Istana Negara, sektor transportasi sebenarnya menjadi kontributor terbesar terhadap polusi udara di Jakarta. Data yang dikutip menunjukkan bahwa sektor transportasi berkontribusi sebesar 44 persen dari penggunaan bahan bakar di Jakarta.
Sementara itu, industri energi menyumbang 31 persen, manufaktur industri 10 persen, sektor perumahan 14 persen, dan komersial 1 persen.
Dari sisi penghasil emisi karbon monoksida (CO), sektor transportasi menyumbang 96,36 persen dari total emisi CO di Jakarta, diikuti oleh pembangkit listrik 1,76 persen, dan industri 1,25 persen.
Perlu dicatat bahwa sepeda motor merupakan penyumbang utama emisi karbon monoksida per penumpang yang paling tinggi, meskipun jumlahnya hanya mencapai 78 persen dari total kendaraan bermotor di Jakarta. Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan jumlah sepeda motor per tahun juga berkontribusi pada peningkatan emisi CO di kota tersebut.
Sementara itu, dari sisi emisi Sulfur Dioksida (SO2), sektor industri manufaktur menjadi penyumbang utama dengan 61,9 persen dari total emisi SO2 di Jakarta. Industri energi menyumbang 25,17 persen, sementara kendaraan bermotor hanya 11 persen.
Laporan ini juga membantah kabar bahwa polusi udara di Jakarta disebabkan oleh PLTU Suralaya di Cilegon, Provinsi Banten. Analisis pemantauan tahun 2019 menunjukkan bahwa pergerakan pencemaran tidak mengarah ke Jakarta, tetapi ke Selat Sunda.
Dalam era di mana polusi udara menjadi perhatian global, langkah-langkah untuk mengurangi dampak buruknya menjadi semakin penting. [wip]