ISLAMTODAY — Ketua Pengurus Harian YLKI, dan pemerhati kesehatan publik, Tulus Abadi mengkritisi kebijakan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang dijalankan oleh BPJS Kesehatan pada tahun ini. Kebijakan ini dinilai memicu ketidakadilan baru dalam pelayanan kesehatan di Indonesia.
“Kebijakan JKN KRIS justru bisa melahirkan ketidakadilan baru, baik dari sisi ekonomi dan atau sosial. Dari aspek normatif pun definisi JKN KRIS masih terbuka ruang untuk diperdebatkan,” ungkap Tulus dalam keterangan tertulisnya Mewaspadai Kebijakan JKN KRIS pada Sabtu 23 Juli 2022.
Ia dalam catatan kritisnya mengkritisi kebijakan BPJS yang berlaku mulai awal Juli. Diantaranya adalah belum ada kejelasan soal definisi kelas standar yang dimaksud dalam JKN KRIS. Faktanya masyarakat sangat membutuhkan peningkatan standar kualitas layanan bukan kelas standar seperti yang diberikan oleh pemerintah.
“Hingga kini belum ada standardisasi pelayanan untuk semua kategori peserta dan kelas JKN. Oleh karena itu, yang sangat dibutuhkan konsumen rumah sakit, adalah standardisasi pelayanan,” tutur Tulus.
Selain itu program JKN Kris menyebabkan peserta kelas tiga mengalami kenaikan tarif, sementara kelas satu mengalami penurunan kelas menjadi kelas dua. Padahal iuran kelas satu masih tetap sama.
“Kerugian lain, jika peserta kelas satu tidak mau dengan pelayanan kelas standar yang ada, maka konsumen akan ditolak rumah sakit, dan diminta untuk memilih rumah sakit lain (swasta dan mahal),” imbuhnya.
Selain merugikan pasien, kebijakan JKN KRIS juga merugikan RS. RS harus mengeluarkan anggaran baru untuk kepentingan infrastruktur baru baik itu ruangan atau alat-alat medis.
“(Contoh) fenomena ini yang dialami oleh RSUD Kota Tangerang, yang sudah lama menerapkan kelas non standar,” ujar Tulus.
Menurut penuturan managemen RSUD Kota Tangerang pada penulis (Mei 2022), bahwarevenue yang diperoleh dari pelayanan non kelas hanyalah 38% saja. Sedangkan sisanya, 62%, khususnya untuk gaji tenaga kesehatan dan karyawan lainnya, ditanggung penuh oleh APBD Kota Tangerang.