ITD NEWS — Pakar Hukum Tata Negara Indonesia, dan Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti mengkritik keluarnya Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker). Ia mengkritisi sejumlah hal salah satunya tentang situasi mendesak yang menjadi alasan pemerintah mengeluarkan perppu tersebut.
“(Situasi mendesak) tetap harus bisa diukur dong, kan kita negara hukum. Bukan berarti titah presiden itu hukum,” ungkap Bivitri dilansir dari tempoco, Jum’at, 30 Desember 2022. Pembentukkan Perppu Ciptaker di akhir tahun 2022 ini sekaligus menunjukkan keberpihakkan pemerintah terhadap kelompok pengusaha.
Hal ini tentu sebuah tindakan culas dan bagian dari pembajakan terhadap demokrasi di Indonesia. “Supaya keputusan politik pro pengusaha ini cepat keluar, menghindari pembahasan politik dan kegaduhan publik. Ini langkah culas dalam demokrasi. Pemerintah benar-benar membajak demokrasi,” ujar Bivitri.
Keluarnya perppu juga tidak menunjukkan adanya situasi yang mendesak sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 22 UUD 1945 yang mengatur soal Perpu, maupun seperti yang ditetapkan dalam Putusan MK 139 tahun 2009. Bahkan Perppu Ciptaker keluar di tengah liburan akhir tahun dan masa reses DPR.
“Jelas-jelas saat ini hanya sedang liburan akhir tahun dan masa reses DPR, tidak ada kegentingan memaksa yang membuat presiden berhak mengeluarkan Perpu,” tandasnya.