ITD NEWS — Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas Imparsial, Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, WALHI, YLBHI, Public Virtue, Forum de Facto, KontraS, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, HRWG, ICJR, LBH Jakarta, LBH Malang, Setara Institute, AJI Jakarta menolak rencana Revisi UU TNI yang telah dibahas di internal TNI pada 28 April 2023 lalu.
Mereka memberikan enam poin catatan terkait hasil analisisnya terhadap rencana Revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Berikut enam poin mengapa rencana revisi UU TNI layak untuk ditolak:
Pertama, perluasan fungsi TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara. Revisi UU TNI yang memasukan fungsi TNI bukan hanya sebagai alat pertahanan negara tetapi juga keamanan negara adalah hal yang keliru.
Kedua, pencabutan kewenangan Presiden untuk pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI. Ketentuan tentang kewenangan Presiden tersebut seharusnya tetap dipertahankan dan tidak boleh dicabut di dalam UU TNI sebagai regulasi organik yang mengatur tentang TNI.
Dengan dihapusnya kewenangan pengerahan dan penggunaan TNI oleh Presiden di dalam UU TNI, hal ini menjadi berbahaya karena akan menempatkan pengerahan dan penggunaan TNI di luar persetujuan dan kontrol Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Ketiga, perluasan dan penambahan jenis-jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Usulan perubahan Pasal 7 ayat 2 dan ayat 3 yang memperluas dan menambah cakupan OMSP menunjukan paradigma dan keinginan politik untuk memperluas keterlibatan peran militer di luar sektor pertahanan negara.
Jika usulan perubahan ini diadopsi, hal ini menjadi berbahaya karena menempatkan pengerahan dan penggunaan pasukan TNI dalam konteks OMSP tidak bisa dikontrol dan diawasi oleh DPR.
Keempat, perluasan jabatan-jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif. Adanya usulan perubahan yang memberikan ruang bagi TNI untuk dapat menduduki jabatan sipil yang lebih banyak dan lebih luas sebagaimana tercantum dalam draft RUU Pasal 47 point 2 dapat membuka ruang kembalinya Dwi fungsi ABRI seperti yang pernah dipraktikan di era rezim otoritarian Orde Baru.
Lebih jauh, adanya upaya perluasan ruang bagi perwira TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil tidak lebih sebagai langkah untuk melegalisasi kebijakan yang selama ini keliru yaitu banyaknya anggota TNI aktif yang saat ini menduduki jabatan-jabatan sipil seperti di Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan bahkan di Badan Usaha Milik Negara. Ombudsman RI sendiri mencatat setidaknya sebanyak 27 anggota TNI aktif menjabat di BUMN. Belakangan ini juga ada perwira TNI aktif yang menduduki jabatan kepala daerah seperti di Kabupaten Seram Bagian Barat dan Penjabat Gubernur Provinsi Aceh.
Kelima, memperkuat impunitas anggota militer yang melakukan tindak pidana umum. Adanya usulan perubahan Pasal 65 ayat 2 UU TNI yang menyatakan bahwa prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan hukum pidana umum, bertentangan dengan semangat dan agenda reformasi TNI tahun 1998.
Keenam, perubahan mekanisme anggaran pertahanan dan dilangkahinya kewenangan Menteri Pertahanan (Menhan). Rencana revisi UU TNI juga meliputi perubahan anggaran TNI berasal dari APBN tidak terbatas anggaran pertahanan.
“Kami mendesak pemerintah untuk tidak melanjutkan agenda revisi UU TNI, selain tidak urgen untuk dilakukan saat ini, sejumlah subtansi usulan perubahan juga membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan pemajuan HAM,” tegas Koalisi Masyarakat Sipil dalam rilisnya pada 9 Mei 2023 dilansir dari situs resmi elsam.or.id.