(IslamToday ID) – Keberadaan proyek strategis nasional (PSN) ‘Rempang Eco City’ di Pulau Rempang ini berbuntut pada pengusiran 7.000- 10.000 jiwa penduduk suku Melayu, Suku Orang Laut dan Suku Orang Darat. Masyarakat adat Melayu tersebut berasal dari 16 kampung adat Melayu telah menempati kawasan tersebut jauh sebelum Indonesia berdiri, sejak era Kesultanan Riau Lingga, tahun 1834.
Insiden penolakan yang berujung bentrokan ini pecah sejak aparat gabungan yang terdiri atas polisi, TNI, satpol PP dan BP Batam memaksa masuk ke Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau pada Kamis (7/9). Dilansir dari bbcindonesia (7/9) aparat bahkan menggunakaan gas air mata untuk meredam reaksi penolakan warga Pulau Rempang.
Aparat memaksa masuk ke kawasan pulau dan menangkap warga sipil dalam insiden ini. Dua sekolah yang didalamnya terdapat siswa sekolah, SMP 33 Galang dan SD 24 Galang turut menjadi korban tembakan gas air mata aparat.
Dilansir dari tempocoid Senin (11/9) paya masyarakat Melayu di Pulau Rempang memperjuangkan haknya terus dilakukan dengan cara berunjukrasa di depan Kantor BP Batam.Mereka menolak penggusuran 16 kampung adat di Rempang dan menuntut agar aparat membebaskan 7 warga sipil yang ditangkap aparat.
Dukungan solidaritas kepada masyarakat Rempang juga datang dari Kabupaten Karimun. Dilansir dari kompascom (11/9), sejumlah organisasi mahasiswa di Karimun melakukan unjukrasa di Karimun mereka mengutuk keras pelanggaran hukum dan HAM yang dilakukan oleh aparat.
Sementara itu dilansir dari inilahcom (12/9), Polda Kepulauan Riau dan Polresta Barelang (Batam, Rempang dan Galang) telah menangkap 43 orang. Mereka ditangkap dengan dugaan melakukan kekerasan kepada petugas serta melakukan perusakan saat unjukrasa di depan BP Batam pada Senin kemarin.
“Ada 43 orang dari massa aksi unjuk rasa menolak relokasi di depan Kantor BP Batam yang diamankan. Sebanyak 28 orang diamankan Polresta Barelang, sedangkan 15 orang lainnya diamankan oleh Polda Kepri,” ungkap Kapolresta Barelang Kombes Pol. Nugroho Tri Nuryanto.
Selain itu pihak pemerintah pusat melalui Menko Polhukam Mahfud MD jika warga telah melakukan kesepakatan dengan pemerintah pada Rabu 6 September 2023. Warga yang terdampak akan menerima kompensasi berupa tanah seluas 500 meter persegi serta rumah senilai Rp 120juta per KK.
“Dan dibangunkan rumah dengan ukuran 45 meter persegi sebesar Rp120 juta setiap kepala keluarga. Besar itu, daerah terluar,” kata Mahfud dilansir dari cnnindonesia, Senin (11/9/2023).
Penggusuran warga masyarakat adat di Pulau Rempang seluas 17.000 hektar ini dilakukan demi suksesnya sebuah proyek besar senilai Rp 381 triliun yang akan terus dikucurkan hingga tahun 2080 mendatang. Dilansir dari bisniscom (9/9) kawasan tersebut direncanakan akan dibangun industri, jasa/komersial, agro-pariwisata, residensial, dan energi baru dan terbarukan (EBT).