(IslamToday ID) – Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Nisa Rizkiah memberikan perhatian serius terhadap penggunaan gas air mata dalam insiden konflik yang terjadi di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Ia menyoroti tentang anggaran belanja gas air mata di kepolisian yang dinilai perlu diberhentikan untuk sementara waktu.
“Mendesak kepolisian untuk menghentikan pembelian gas air mata sampai ada evaluasi dan perbaikan mengenai tata kelola penggunaan gas air mata,” kata Nisa dilansir dari liputan6com, Kamis 14 September 2023.
Nisa mendesak DPR untuk memanggil Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk meminta pertanggungjawaban terhadap sejumlah peristiwa penggunaan gas air mata. Terutama dalam kasus yang terjadi di Pulau Rempang beberapa waktu lalu.
“DPR harus segera memanggil Kapolri untuk dimintai pertanggungjawaban atas sejumlah peristiwa yang berkaitan dengan pengguna gas air mata,” tegas Nisa.
Ia dalam kesempatan diskusi yang bertajuk ‘Konflik Rempang: Daftar Panjang Brutalitas Kepolisian’ mengungkapkan temuan ICW bahwa anggaran belanja gas air mata oleh kepolisian sepanjang bulan Januari sampai September 2023 mencapai Rp 49 Miliar. Sebuah belanja yang cukup fantastis.
“Sejak Januari hingga September 2023 terdapat satu kali pengadaan gas air mata sebanyak 67.023 dengan kaliber 37-38 mm dengan pagu Rp 49,255,202,700,” unglap Nisa.
Nisa juga menyinggung tentang minimnya transparansi kepolisian dalam belanja gas air mata. Salah satunya terkait dengan tender pengadaan gas air mata yang menyebut terdapat 9 perusahaan yang mengikuti tender namun anehnya hanya satu perusahaan yang mengajukan penawaran.
Pemenangnya ialah PT Dwi Jaya Perkasa, sebuah perusahaan yang baru berdiri pada 2 Januari 2023. Hal lain yang mengundang kecurigaan hingga menuntut adanya transparansi ialah terkait selisih angka anggaran Polri dan hitungan ICW.
“Karena kalau kita lihat kita tidak bisa mengakses kerangka kerja polisi yang mana kalau di kerangka kerja itu pasti ada berapa sebetulnya kebutuhan gas air mata dari setiap tahun. Nah ini kita tidak bisa akses datanya sehingga kita anggap masih belum transparan,” tegas Nisa.