(IslamToday.id) — Kesultanan Pasai, atau Samudera Pasai, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai Utara Sumatra. Letaknya kurang lebih di sekitar 15 km dari Kota Lhoukseumawe yang diapit oleh sungai besar yaitu sungai Jambo Aye dan Sungai Peusungan Aceh Utara, Provinsi Aceh, Indonesia.
Beberapa sejarahwan memulai menelusuri keberadaan kerajaan ini dari Hikayat Raja-raja Pasai, dan dikaitkan dengan beberapa makam raja. Selain itu juga dikaitkan dengan penemuan koin berbahan emas dan perak dengan tertera nama rajanya. Raja pertama kerajaan ini adalah Sultan Malik as-Saleh, yang bertahta sekitar tahun 1267 M. Keberadaan kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah. Musafir Maroko ini singgah ke Samudra Pasai pada tahun 1345 M.
Pada waktu itu, ditinjau dari segi geografis, dan sosial ekonomi, Kesultanan Samudera Pasai memang merupakan suatu daerah yang penting sebagai penghubung antara pusat-pusat perdagangan. Setidaknya menjadi penghubung kepulauan Asia Tenggara, India, Cina dan Arab. Sehingga dapat dikatakan bahwa Kesultanan Samudra Pasai merupakan pusat perdagangan yang sangat penting. Kesultanan Samudra Pasai juga telah menggunakan mata uang emas (dirham). Adanya mata uang itu (dirham) membuktikan bahwa kerajaan ini pada saat itu merupakan kerajaan yang makmur.
Ibnu Batuthah, dalam catatannya menuturkan bahwa ia sempat mengunjungi Pasai pada 1345 M.Ia singga di Kesultanan Samudera Pasai selama 15 hari. Ia menggambarkan Kesultanan Samudera Pasai sebagai “sebuah negeri yang hijau dengan kota pelabuhannya yang besar dan indah.‘‘ Ibnu Batuthah juga menceritakan, ketika sampai di negeri Cina, ia pun melihat kapal Sultan Pasai di negeri itu.
Selain Batuthah, seorang juru tulis Cheng Ho, Ma Huan dalam misi pelayarannya pernah tiga kali mengunjungi Kesultanan Samudera Pasai. Ia juga mengungkapkan kemakmuran negeri tersebut. Salah satunya dari segi kekayaan hasil bumi yang melimpah. Ma Huan menulis bahwa di negeri itu juga kaya banyak terdapat bermacam-macam buah-buahan seperti, pisang, tebu, manggis, nangka, durian, jeruk, mangga, dan semangka. Disamping itu juga terdapat banyak sayuran, bawang putih, bawang merah, jahe, labu dan lainnya.
Di bidang peternakan, penduduk Pasai memelihara sapi perah yang menghasilkan keju. Ada pula kambing hitam, ayam jantan, bebek dan ulat sutra. Bukit-bukit menghasilkan banyak belerang di gua-guanya. Penduduk Samudra pasai menanam padi, bahkan waktu itu dalam satu tahun dapat panen dua kali. Selai itu para petani juga menanam komoditas lada hitam didekat bukit.
Kesultanan Samudera Pasai juga banyak disinggahi kapal-kapal Melayu antar pulau, dan perdagangan antar sesama mereka sangat ramai. Dalam perdagangan, para penduduk samudera Pasai memakai uang emas dan perak sebagai alat tukar. Uang emas diberi nama dinar dan dibuat dari 70 % emas tulen.
Pengamalan Syariat Islam
Pada akhir abad ke-13 perlahan-lahan Samudera Pasai menjadi pusat keislaman yang sangat dinamis. Bahkan menjadi pusat penyebaran Islam ke wilayah sekitarnya kesultanan tersebut. Sejak saat itu Islam menyebar dengan cepat ke seluruh Sumatra, semenanjung Melayu, Jawa, Maluku, dan daerah lainnya di pelosok kepulauan Nusantara. Perubahan sistem politik Kesultanan Samudera Pasai mendorong juga pergantian sistem hukum.
Penerapan hukum Islam di Samudera Pasai juga tidak luput dari perhatian Ibnu Batuthah. Ibnu Batuthah berkunjung ke Samudera Pasai pada tahun 1345. Ia tinggal selama 15 hari sebelum melanjutkan perjalanan ke negeri Cina. Sebelum singgah di Samudera Pasai ibnu batuthah sudah singgah di India. Ia mengisahkan bahwa pelayaran dari India ke Samudera Pasai membutuhkan waktu selama 15 hari.
Ibnu Batuthah menceritakan, bahwa ketika sampai di Samudera Pasai ia dijemput dan disambut oleh para pejabat Kesultanan Samudera Pasai atas perintah Sultan. Diantara yang menyambutnya ada seorang Qadi yang bernama Amir Sayyid Al Syirazi. Pengalaman singgah selama 15 hari di negeri tersebut tidak disia-siakannya, ia juga mengamati dan menulis dengan rinci tentang praktik pengamalan Islam di Kesultanan Samudera Pasai. Ia menuliskan, bahwa ia Sultan Samudera Pasai yang dijumpainya adalah seorang muslim yang baik dan menerapkan hukum Islam dengan madzhab syafi’i. Oleh karena itu, rakyatnya juga menjalankan aturan-aturan (syariat) Islam. Samudera Pasai juga memeiliki lembaga-lembaga yang berkaitan dengan penegakan hukum dan aturan Islam, seperti Qadi dan Mufti.
“Ini perihal Sultan Malik az Zahir, salah satu raja yang paling terkenal dan paling dermawan. Ia menganut madzab syafi’i. Ia mencintai para fukhaha yang datang ke pertemuan-pertemuannya untuk membaca Al Qur’an dan mengadakan pengajian. Ia selalu berperang, berjihad melawan para kafir. Ia sangat sederhana dan datang berjalan kaki untuk shalat jumat. Rakyatnya juga mengikuti madzhab syafi’i. Mereka suka berjihad melawan orang-orang musyrik dan berperang dengan semangat bersama raja mereka. Mereka meraih kemenangan terhadap orang-orang kafir yang menjadi tetangga kerajaan mereka. Orang-orang kafir itu membayar jizyah untuk mendapatkan perdamaian”.
Catatan ibnu batutah tersebut memberikan titik terang, tentang penerapan hukum Islam di Kesultanan Samudera Pasai. Terutama tentang mazhab fiqih yang dianut, keberadaan qadi (hakim), para ulama atau ahli fikih (fuqaha’), serta adanya kewajiban jihad dan jizyah. Perlu diketahui Madzhab Fiqih tersebut berasal dari Kairo, dimana imam syafii menghabiskan tahun-tahun akhir kehidupannya . Dari Kairo mazhab syafii menyebar kemana-mana seperti ke Pusat-pusat perdagangan di timur tengah seperti Kairo, Jeddah, dan Aden di Yaman mayoritas penganut madzhab Syafii.
Madzhab ini diuntungkan dengan kemenangan Dinasti Saljuk atas Dinasti Fatimiyah pada abad ke-9 sampai 13 di Kairo. Mazhab Syafii menjadi mazhab resmi negara sepanjang masa Ayyubiyah dan Mamluk. Hal ini juga menunjukan Mazhab syafii masuk ke Nusantara bersama dengan kedatangan Islam.
Dalam cacatan tersebut, Ibnu Batuthah jelas menekankan bahwa Sultan dan rakyat Samudera Pasai melaksanakan kewajiban jihad untukmelawan orang kafir. Jihad adalah perang bersenjata melawan orang kafir yang menghalangi tersebarnya dakwah Islam. Hal ini dilakukan dalam rangka menegakkan agama Allah (fi sabilillah).
Imam-imam Syafii berpendapat, bahwa jihad merupakan kewajiban yang baik dan suci. Pelaksanaan jihad dan Jizyah serta pemisahan antara wilayah Islam dan buka Islam di kesultanan Samudera Pasai berkaitan dengan pelaksanaan syariat Islam.
Odorigo de Pordenone, seorang pendeta Fransiskan, sebelum kedatangan Ibnu Batuthah telah mengunjungi Samudera Pasai pada tahun 1323 M. Ia mengisahkan bahwa, Kerajaan (Pasai) selalu berperang dengan kerajaan tetangganya. Negeri-negeri tetangga Samudera Pasai adalah Lambri (Lamuri), yang saat itu masih menjadi negeri yang menyembah berhala. Selain ityu ada pula negeri lainnya yang masih menyembah berhala, seperti Dragoian, dan Fansur,
Jihad melawan orang-orang kafir juga sudah dilakukan oleh para pendahulunya hingga kewajiban jihad ini berlanjut sampai saat kunjungan Ibnu Batuthah. Sehingga Ibnu Batuthah menjadi saksi bahwa sultan Sultan Malik az Zahir adalah seorang yang shalih dan berjihad bersama dengan rakyatnya melawan orang-orang bukan Islam. Adapun, penerapan Hukum Islam terus berlaku hingga sultan terakhir Samudera Pasai.
Penulis: Arief Setiyanto
Editor: Tori Nuariza