(IslamToday.id) — Raden Mas Rangsang atau Sultan Agung Hanyakrakusuma memerintah Kerajaan Mataram Islam sejak tahun 1613 -1645. Dalam pemerintahannya itu, beliau dikenal sebagai seorang raja yang berkharisma tinggi, kokoh dalam berpendirian dan memiliki visi besar terhadap Islam.
Walapun sejak masa pemerintahan kesultanan Demak Islam telah berusaha diterapkan dengan model semurni mungkin, namun dengan bergantinya kepemimpinan serta berbagai faktor tradisi dan kecenderungan politik, menjadikan penguasa-penguasa kerajaan Jawa di wilayah pedalaman masih terpengaruh tradisi hindu yang kuat.
Kepercayaan Hindu yang sudah mendarah daging dalam kerajaan Jawa tersebut, tidak menjadikan Sultan Agung abai terhadap visi besarnya untuk lebih membumikan Islam dalam pola kehidupan masyarakat Jawa. Salah satu produk visioner Sultan Agung yang paling monumental adalah penyesuaian kalender Jawa Saka yang semula mereduksi sistem penanggalan syamsyiyyah direvisi dengan menggunakan perhitungan hijriyah yang menggunakan sistem qomariyah.
Perlu dipahami, bahwa penggunaan kalender Saka menurut Purwadi sudah dimulai sejak tahun 78 Masehi yang dibawa dan diterapkan oleh tokoh Aji Saka yang juga dikenal sebagai pencipta huruf Jawa ha na ca ra ka. Kalender ini secara resmi dimulai pada tanggal 15 Maret dengan mengikuti perjalanan bumi mengitari matahari. Selain kalender Saka orang-orang Jawa juga menggunakan kalender lain yang disebut dengan Pranatamangsa, bahan kalender ini sudah digunakan sebelum kedatangan Hindu. Kalender Pranatamangsa dapat dikatakan sebagai kalender kaum tani yang memanfaatkannya sebagai pedoman bekerja sejak menyemai bibit, masuk musim tanam hingga menentukan waktu panen. Kalender ini seperti halnya Kalender Saka yang juga menggunakan siklus peredaran matahari dan membagi masa satu tahun kedalam 12 bulan/mangsa.
Berikut ini nama-nama bulan pada kalender Saka: Swarna (12 Juli-12 Agustus; 32 hari), Bhadra (13 Agustus -10 September; 29 hari), Asuji (11 September -11 Oktober; 31 Hari), Kartika (12 Oktober -10 November; 30 hari) Posya (1 November -12 Desember; 32 hari), Margasira (13 Desember-10 Januari; 29 hari), Magha (11 Januari -11 Februarai; 32 hari), Phalguna (12 Februari -11 Maret; 29 hari), Cetra (12 Maret -11 April; 31 hari), Wasekha (12 April-11 Mei; 30 hari), Jyesta (12 Mei -12 Juni; 32 hari), Asadha (13 Juni -11 Juli; 29 hari).
Pada mulanya, Pranatamangsa hanya memiliki 10 mangsa, sesudah mangsa kesepuluh tanggal 18 April, orang menunggu saat dimulainya mangsa yang pertama, yani pada 22 Juni. Masa menunggu tersebut cukup lama sebingga ditetapkan mangsa yang ke sebelas dan mansa yang keduabelas, maka genaplah satu taun menjadi 12 managsa dan dimulainya hari pertama mangsa kesatu pada 22 Juni, jadi sejak saat itu Kalender Saka berjalan bersamaan dengan kalender pranatamangsa. Adapun nama-nama mangsa beserta umurnya adalah sebagai berikut: Kasa (41 hari), Karo (23 hari), Katelu (24 hari), Kapat (25 hari), Kalima (27 hari), Kanem (43 hari), Kapitu (43 hari), Kawolu (26/27 hari), Kasanga (25 hari), Kasepuluh (24 hari), Dhesta (23 hari), Sadha (41 hari).
Kalender yang merupakan perpaduan Jawa dan Hindu seperti diatas, dipakai oleh orang Jawa sampai tahun 1633 masehi. Pada Saat Sultan Agung bertahta secara resmi penanggalan tersebut diubah dengan sistem baru yang diserap dari sistem penanggalan Islam (Hijriyah) yang berbasis pada perhitungan bulan. Perubahan kalender Jawa itu terjadi dan dimulai pada tanggal 1 Sura tahun Alip 1555, tepat pada tanggal 1 Muharram tahun 1043 Hijriyah, tepat pula dengan 8 Juli 1633 masehi pada hari Jumat Legi.
Kalender Jawa Islam atau kalender Sultan Agung, nama-nama bulan diintrodusir dari nama-nama bulan Hijriyah, meski ada sedikit perubahan disesuaikan dengan konteks masyarakat Jawa pada saat itu. Nama-nama bulan tersebut adalah : Sura (Muharrom), Sapar (Shofar), Mulud (Robiul awal), Bakda Mulud (Robiul tsani), Jumadilawal (jumadil awal), Jumadilakhir (jumadil akhir), Rejeb (Rojab), Ruwah (sya’ban), Pasa (ramadlon), Sawal (syawwal), Dulkangidah/Apit (dzulqaidah), Besar (dzulhijjah).
Penamaan ini lebih menyesuaikan dengan peristiwa-peristiwa sejarah pada bulan-bulan dimaksud, sebagai upaya membumikan kalender Jawa Islam dalam konteks sosial masyarakat Jawa yang Islami.
Sebagai contoh, Syuro yang dijadikan ganti dari Muharrom karena terkandung maksud bahwa pada tanggal 10 merupakan hari asyuro. Begitu juga dengan Mulud, sebagai upaya memperingati di mana Nabi Muhammad SAW dilahirkan pada tanggal 12 Robiul awaal atau yang sering disebut dengan istilah Maulud Nabi.
Ruwah menggantikan Sya’ban, dimaksudkan sebagai bulan turunnya para ruh atau pembebasan para ruh dipadang mahsyar. Pasa terambil dari bulan Ramadhan arena umat muslim pada bulan tersebut wajib menjalankan ibadah puasa selama satu bulan penuh. Besar menggantikan bulan Dzulhijjah, dimaksudkan pada bulan ini umat Islam memiliki upacara peribadatan dalam skala besar yaitu ibadah haji dan pelaksanaan kurban.
Dalam penanggalan Jawa juga dikenal dalam satuan delapan tahunan yang disebut windu. Masing- masing tahun memiliki nama tersendiri, beberapa nama tahun tersebut juga memiliki ciri khas Islam yaitu tahun pertama disebut (Wawu), kedua (Jimakir), ketiga (Alip), keempat (Ehe), kelima (Jimawal), keenam (Je), ketujuh (Dal) dan kedelapan (Be).
Sedangkan nama hari juga diganti penyebutannya, Radite menjadi Ahad/Ngad (wahid), Soma menjadi Senen (isnain), Anggoro menjadi Selasa (Tsalasa), Buda menjadi Rebo (Arba’ah/Rabi’), Respati diganti Kemis (Khomis), Sukra diganti Jum’at (jum’ah) dan Tumpak berubah menjadi Sebtu (Sab’atun).
Perubahan kalender Jawa ini pada masanya telah mendapatkan dukungan dari kalangan ulama. Kebijakan ini dinilai sangat membantu masyarakat Jawa dalam mendekatkan pemahaman mereka terhadap ajaran-ajaran Islam, dimana berbagai peribadatan sangat berkaitan erat dengan waktu-waktu yang telah ditentukan.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza