(IslamToday.id) — Bangsa Portugis yang datang dan kemudian tampil sebagai penguasa superior atas pemerintahan penguasa lokal memasuki masa kelam pada pertengahan abad ke-16 M. Setelah pembunuhan Sultan Khairun yang keji pada 28 Februari 1570, mereka mengira akan kembali memperoleh superioritasnya. Namun keadaan justru berbalik, pembunuhan itu telah memicu kemarahan rakyat dan juga para sultan-sultan kecil di Maluku. Tak hanya itu, bahkan kecaman terhadap peristiwa pembunuhan tersebut juga datang dari kelompok Jesuit Portugis yang menjadi ujung tombak misi pengkristenan di wilayah Ternate. Mereka menilai apa yang telah dilakukan oleh Gubernur Lopez de Mosquita akan menjadi bumerang bagi kepentingan mereka di tanah seribu rempah tersebut.
Menyikapi peristiwa tersebut, para ulama, bangsawan, dan tokoh masyarakat segera mengambil langkah taktis. Mereka meminta Pangeran Baabullah untuk memimpin Ternate untuk menggantikan sang ayah. Pangeran Baabullah pun menyambut seruan para tokoh masyarakat itu. Pada tanggal 28 Februari 1570, tepat di hari yang sama dengan peristiwa pembunuhan ayahnya Baabullah melaksanakan pelantikannya sebagai Sultan. Dalam sebuah upacara pelantikan yang sederhana, Sultan Baabullah bersumpah bahwa ia akan berjihad untuk menegakkan kembali panji-panji Islam di Maluku dan menjadikan Kesultanan Ternate sebagai kesultanan besar serta menghukum Portugis dan mengusirnya dari Maluku.
Beberapa isi pidatonya saat pelantikan dimuat dalam artikel Majalah Suara Hidayatullah Edisi April 2000 dengan judul Sultan Ternate Baabullah, Khalifah Islam Nusantara dan Penakhluk Kaum Imperialis. Sultan Baabullah dalam pidatonya menyampaikan nasihat yang pernah disampaikan Ayahnya bahwasannya: “Antara Islam dan Katolik terdapat jurang pemisah yang lebar. Sejarah kemenangan Islam di Andalusia (Spayol), Khalifah Barat, membuat mereka membenci dan iri kebesaran Kesultanan Ternate. Mereka menderita penyakit dendam kesumat serta pemusnahan dimana saja setiap melihat negeri-negeri Islam, baik di Gowa, Malaka, Jawa dan kita di Maluku sini. Kalau kita di Ternate kalah, maka nasib kita akan sama dengan negeri-negeri Islam di Jawa, Sulawesi dan Sumatra.”
Sultan Baabullah tidak menunda-nunda waktu. Sesaat setelah pelantikan dan pidato politik diucapkan, seketika maklumat jihad diumumkan di seluruh negeri. Salah satu untaian syair yang terkenal dalam penggalan maklumat tersebut adalah:
Moro moro se mau gise
No kakoro siwange ma buluke
Si wange ma sosiru
Jo Mapolo sara sekore mie
Ini formoni Bismillah
(Jika panggilan Jihad telah diumumkan, wajiblah diteruskan pada rakyat, Di Matahari naik dan rakyat di mataari masuk, Bersatulah dengan rakyat di angin selatan, Dan rakyat di angin utara, bangkitlah berperang, Dengan niat Bismillah.)
Berita kebangkitan Sultan Baabullah segera menyebar ke seluruh pelosok Maluku. Sultan-sultan kecil di daerah-daerah segera menyambut seruan jihad sultan tersebut. Termasuk juga di Mindanao (selatan Filipina) dan Papua. Mereka melupakan persaingan yang selama ini mereka lakukan. Berita kebangkitan Sultan Baabullah telah menghilangkan semangat kesukuan diantara mereka dan menyadarkan para sultan-sultan kecil serta rakyat Maluku pada umumnya. Mereka bersatu dalam satu komando di bawah pimpinan Sultan Baabullah.
Kewibawaan besar Sultan Baabullah tersebut layak diperoleh, lantaran sebagai penguasa baru pengganti ayahnya Ia adalah mantan panglima tertinggi di Kesultanan Ternate dengan gelar Kapita Laut atau disebut juga dengan Kaicil Paparangan. Oleh karena itu, dengan mudah beliau dapat tampil sebagai pemimpin perang yang handal dan mampu memimpin ribuan pasukan dari berbagai suku yang berbeda akar genealogis di Indonesia bagian Timur.
Dalam persiapan perang besar untuk melawan Portugis, Sultan Baabullah mengangkat beberapa panglima pasukan yang pengalaman tempurnya telah berada pada level atas. Panglima-panglima tersebut adalah: Katarabumi (sultan Kesultanan Jailolo), Kapita Kapalaya (pemimpin daerah Sula), Kapita Kalakinka (pemimpin daerah Ambon), dan Kapita Rubuhongi. Mereka ini adalah penguasa-penguasa lokal dibawah kepemimpinan Kesultanan Ternate, namun beberapa penguasa juga ada yang membelot, salah satunya adalah Raja Bacan yang diketahui telah murtad ke Agama Kristen. Adapun Sultan Baabullah juga mendapat bantuan pasukan dari Sultan Tidore, jadi total pasukan Islam dibawah Sultan Baabullah adalah 2.000 perahu kora-kora dan 120.000 prajurit. Seluruh pasukan disiagakan di pos masing-masing.
Sebelum penyerangan dilakukan, Sultan Baabullah meminta kepada Portugis untuk menyerahkan Lopez de Mosquita untuk diadili. Tetapi permintaan sultan itu diabaikan Portugis. Mereka masih berpegang pada prinsip, pejabat perwakilan kerajaan di suatu wilayah tidak bisa dihukum, karena segala kebijakan dan tindakannya dianggap benar. Hal ini membuat rakyat Maluku (khususnya Sultan Baabullah) marah besar.
Penyerangan pun dilakukan. Serangan dimulai dengan melancarkan pengepungan pusat-pusat kekuatan Portugis. Benteng Tolucco, Santo Lucia, dan Santo Pedro jatuh dalam waktu singkat. Pada Tahun 1571, pasukan Ternate berkekuatan 30 kapal yang memuat 3.000 prajurit di bawah pimpinan Kapita Kalakinka menyerbu Ambon (yang masih diduduki Portugis), dan berhasil menghancurkan kekuatan Portugis di sana. Di Pulau Buru, pasukan Portugis di bawah Kapten Sancho de Vasconcellos yang dibantu pribumi Kristen berhasil memukul mundur pasukan Ternate. Namun tidak lama setelah itu datang pasukan Islam di bawah pimpinan Kapita Rubuhongi. Pasukan bantuan itu segera mengambil alih kendali dan berhasil menguasai Pulau Buru.
Serangan besar-besaran yang dilakukan oleh Ternate itu hanya menyisakan Benteng Gamalamo, yaitu benteng utama tempat Lopez de Mosquita menyembunyikan diri. Namun demikian Sultan Baabullah tak langsung memberangus benteng tersebut, justru Ia memerintahkan agar para pasukan mengepung Benteng Sao Paulo dan memblokade hubungannya dengan dunia luar. Tujuan dari blokade tersebut tak lain agar suplai makanan dari luar benteng tidak bisa masuk ke dalam.
Sebenarnya, Sultan Baabullah bisa saja menghancurkan benteng itu dengan sekali serang, namun mengingat di dalam benteng masih terdapat cukup banyak rakyat Ternate yang telah menikah dengan orang Portugis dan mereka tinggal dalam benteng bersama keluarganya, maka sultan hanya cukup mengepungnya saja.
Karena kondisi semakin tertekan, Jenderal Alvaro de Ataide mengambil alih kendali menggantikan Lopez de Masquita dan mulai menyerang pasukan Ternate dari dalam benteng. Namun langkah ini tidak membuahkan hasil. Justru yang terjadi sebaliknya. Pasukan Portugis semakin banyak yang mati.
Akhirnya, Alvaro de Ataide pun mulai melunak. Dia bersedia berunding dengan Sultan Baabullah. Sikap Alvaro ini dihargai oleh Sultan Baabullah. Sultan pun turut melunak. Namun, meskipun bersikap “lunak” terhadap Portugis, Sultan Baabullah tidak melupakan sumpahnya. Beliau mencabut segala keputusan Sultan Khairun yang pernah memberikan ruang gerak kepada misionaris-misionaris Kristen. Dengan keputusan Sultan Baabullah tersebut, misi Kristen berhasil dihentikan. Tetapi bagi orang Maluku yang masih memeluk Kristen, tidak dipaksa untuk meninggalkan keyakinannya. Tidak hanya itu, Sultan Baabullah juga mengizinkan agar bahan makanan bisa masuk ke dalam benteng dalam jumlah yang terbatas. Namun demikian, Benteng Gamlamo terus dalam masa pengepungan hingga pihak Portugis mau menyerah tanpa syarat. Dengan keras kepala, pihak Portugis tidak mau menerima kekalahan dan memilih bertahan dalam benteng sambil menanti adanya bantuan dari luar.
Walaupun tidak ada serangan yang dilancarkan ke dalam benteng, namun sedikitnya jumlah makanan yang masuk membuat kehidupan disana menjadi seperti di neraka. Hal inilah yang akhirnya membuat Portugis menyerah tanpa syarat kepada Ternate. Proses ini bermula dari kecurigaan Ternate terhadap masuknya tiga buah kapal Portugis yang merapat ke perairan Maluku. Mereka diduga adalah kapal bantuan dari wilayah lain yang dimaksudkan untuk mengevakuasi para tawanan yang berada di benteng Gamlamo.
Melihat gelagat tersebut, Sultan Baabullah tak mau ambil resiko, kemudian Ia memerintahkan perwakilannya untuk menemui Gubernur Portugis di dalam benteng yang bernama Nuno Pareira de Lacerda. Kepada pimpinan Portugis tersebut Ternate memberikan tiga opsi bagi penghuni benteng yaitu; penyerahan tanpa syarat dalam waktu 24 Jam; bagi yang menyerah akan dideportasi ke wilayah Ambon atau Malaka; jika tidak meyerah, mereka akan diserang sampai habis oleh 10.000 pasukan Ternate. Ditengah proses negosiasi sedang berjalan, pihak Ternate mendapat laporan bahwa kapal-kapal yang tadinya dicurigai sebagai armada laut portugis, ternyata hanya kapal dagang biasa dan tidak berniat melakukan perlawanan, oleh karena itu pihak Ternate menjadi tidak risau lagi akan ksemungkinan adanya bentrok fisik.
Sementara itu dari pihak Portugis, tak ada pilihan lain bagi seorang Gubernur De Lacerda. Akhirya pada tanggal 28 Desember 1570 pukul 09.00 secara resmi Portugis menyerah tanpa syarat kepada Ternate. Portugis menyanggupi apa yang ditawarkan oleh pihak Ternate dan sebanyak 400 orang Portugis kemudian dibawa oleh kapal dagang mereka keluar wilayah Ternate menuju Ambon dan Malaka.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza
Sumber :
K. Subroto, Pengepungan Benteng Portugis, Kekalahan Super Power Portugis Oleh Jihad Baabullah Di Ternate. Syamina Edisi 10 Juli 2016
M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-Rempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950