(IslamToday.id) — Pasca berakhirnya perang Salib yang berlangsung sekira 200 tahun lamanya, Bangsa Eropa kemudian memasuki periode renaissance. Masa pencerahan ini membawa arus gelombang kemajuan, khususnya penemuan-penemuan baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sekaligus ditambah dengan semangat yang bergelora dalam menjelajahi wilayah-wilayah baru yang belum terjamah untuk mencari kekayaan komoditas perdagangan utama yang selama ini dikuasai bangsa Moor (Islam).
Pada masa awal, Portugis dan Spanyol menjadi dua kerajaan utama yang mengemban misi besar penjelajahan samudera berdasarkan perjanjian Tordesillas. Adapun Hasil perjanjian Tordesillas yang dilaksanakan pada 4 Mei 1493 tersebut, berisi diktum antara lain membagi dunia “baru” untuk dikuasai oleh Portugis dan Spanyol. Perjanjian ini mendapat restu langsung dari penguasa tahta suci Vatikan yang sedang berkuasa pada waktu itu, Paus Alexander VI. Lewat perjanjian ini Paus memberikan salah satu syarat kepada perwakilan Eropa, yakni raja atau negara harus memajukan misi Katolik Roma di daerah daerah yang telah diserahkan pada mereka.

Hingga kedatangan Portugis di wilayah Ternate pada tahun 1512, misi penyebaran agama Kristen Roma masih menjadi salah satu misi wajib yang harus dilakukan. Namun demikian, pada awal kedatangan Portugis ke wilayah, misi Kristen tak serta merta langsung dilaksanakan. Pihak Portugis melalui perwakilannya Fransisco Serrao lebih memilih melakukan konsolidasi perdagangan cengkeh dan lebih banyak membangun sentra-sentra kekuatan militer hingga turut campur dalam urusan politik lokal yang menguntungkan bagi mereka.
Setelah lebih dari 20 tahun berjalan, benteng-benteng Portugis telah berdiri kokoh, superioritas politik juga telah dicapai. Oleh karena itu, baru pada tahun 1534 M ketika Tristiao de Atyde dilantik sebagai Gubernur Portugis di wilayah Maluku, misi kristenisasi dimulai. Program-program penginjilan pun mulai di-intensifkan, berbagai cara dilakukan baik dengan pendekatan sosio kultural maupun dengan pendekatan politik dan militer. Sebagai gambaran tentang keberhasilan kristenisasi di kawasan Ternate periode tahun 1534 hingga 1570 maka bisa kita lihat kesuksesan mereka di wilayah Moro dan Bacan.
Seperti diketahui sebelumnya, bahwa kawasan kepulauan Maluku terdapat beberapa kerajaan Islam yang masing-masing memiliki kedaulatan dan saling bersaing dalam hal eksistensi kerajaan. Wilayah Kerajaan Moro yang berada di kawasan Halmahera Utara adalah penghasil beras terbesar di Maluku dan oleh karenanya Kesultanan Ternate sebagai kerajaan yang memiliki pengaruh besar telah berhasil menguasai wilayah Moro dan menjadikan daerah ini sebagai lumbung pangan yang menyuplai kebutuhan pangan kota Ternate. Dengan strategisnya posisi Moro dan potensi alamnya yang luar biasa, ternyata Moro juga diincar Kerajaan Jailolo.
Pada suatu hari, keadaan yang tidak menentu ini dituturkan Raja Tioliza sebagai penguasa Moro kepada Gonsalo Veloso, seorang pedagang Portugis yang mengunjungi Mamuya (ibukota Moro) untuk mendapatkan stok pangan. Pedagang Portugis itu menasehati Raja Moro agar beralih ke agama Kristen dan meminta pelindungan tentara Portugis. Ketika Veloso kembali ke Ternate, Raja Moro mengirim beberapa orang untuk melaporkan situasi Moro kepada Gubernur Portugis dan menyampaikan keinginan mereka memeluk agama Kristen. Gubernur Triastao de Atayde menyambut hangat dan menerima permohonan mereka. Para utusan yang diterima di Benteng Gamlamo itu kemudian dibaptis sebelum bertolak kembali ke Moro.

Setiba kembali di Mamuya, para utusan itu melaporkan semua sambutan yang mereka peroleh di Ternate. Setelah menerima laporan, Raja Moro mengundang para bobato-nya dan membahas laporan utusan mereka yang kini telah memeluk Kristen. Diputuskan bahwa Raja dan para bobato akan segera ke Ternate untuk dibaptis.
Selang beberapa pekan kemudian, Raja Moro dan bobato-nya berikut beberapa pengiring telah berada di dalam Benteng Gamlamo serta diterima Gubenur Atayde dan para misionaris. Dalam suatu upacara megah, Raja Moro yang mengenakan pakaian bangsawan Portugis pemberian Atayde – berikut para bobato dan pengiringnya dibaptis oleh Frater Simon Vaz. Raja Moro memperoleh nama baptis Don Joao de Mamuya. Dengan pembaptisan ini, Raja Moro menjadi merasa aman karena ibukota kerajaannya akan memperoleh bantuan pasukan Portugis untuk menangkal serangan-serangan orang Ternate yang bermukim di Galela dan beragama Islam. Beralihnya Raja Moro ke dalam agama Kristen segera diikuti rakyat di ibukotanya, Mamuya, dan terbentuklah komunitas Kristen pertama di kerajaan Moro di kota itu.
Berita pembaptisan Raja Moro segera menyebar ke Morotia dan Morotai. Sangaji Tolo, pemimpin sebuah pemukiman terbesar Moro yang terletak kira-kira 5 kilometer di Selatan Mamuya, segera mengikuti jejak rajanya dan beserta beberapa pengiringnya berangkat ke Gamlamo untuk dibaptis. Ia kemudian dikenal dengan nama baptis Don Atayde de Tolo.
Misi katolik di Gamlamo lalu mengutus Frater Simon Vaz ke Mamuya dan Tolo. Simon Vaz berhasil ‘merombak’ tradisi orang-orang Morotia dan merekonstruksinya dengan iman Kristiani. Untuk kebutuhan rohani umatnya, dua buah gereja dibangun di Mamuya dan Tolo. Sampai pada tahun 1535, selain di Mamuya dan Tolo, pusat-pusat Kristen telah berdiri di Cawa, Samafo, Pune, Loqui (Aru), Sugala, Cunialonga (Lolonga), Todoku (Tutumaloleo) dan Bisoa semuanya berada di kawasan Morotia. Sementara di Morotai, pusat-pusat serupa terdapat di Sakita, Mira, Sopi, Cio, Hapo, Wayabula, Pilowo, dan Rao.
Selang beberapa tahun, datanglah Francis Xaverius mengunjungi Moro pada taun 1546, disana tercatat sudah terdapat 29 komunitas Kristen. Akan tetapi, melalui usaha yang dilakukan Xaverius kemudian pada tahun 1562 komunitas Kristen telah bertambah menjadi 36, bahkan tiga tahun kemudian bertambah menjadi 46 sampai 49 komunitas Kristen. Tiap komunitas terdiri dari 7.000-8.000 jiwa yang berasal dari satu hingga dua kelompok desa. Hal ini berarti jumlah orang yang telah dikonversi di Moro sampai tahun 1562 mencapai 39.000 orang.
Tiap komunitas memiliki gereja sendiri, serta mereka telah memiliki pengetahuan tentang hari-hari ibadah. Misalnya hari minggu, hari Natal, dan hari raya Paskah. Herbert Jacobs S.J. mencatat bahwa tahun 1552 terdapat 35.000 orang dari 29 desa. Kemudian empat tahun kemudian jumlah itu bertambah menjadi 55.000 orang dari 75 pemukiman. Selama kunjungan hanpir empat bulan di Moro, Francis Xavier membaptis 3.000 jiwa, anak-anak dan orang dewasa. Dalam catatan lain disebutkan ketika Francis Xaverius datang ke wilayah Moro tahun 1546, telah terjadi konversi besar-besaran di Moro dengan 2.000 orang dalam sepekan saja.
Sementara itu di daerah Bacan, orang-orang Jesuit Portugis berhasil mengkristenkan Sultan Alauddin I yang dibaptis pada bulan Juli 1557 dan berubah nama menjadi Don Joao de Kasiruta. Selain, Sultan Alaudin dibaptis pula Sangaji Kasiruta dan Labuha bersama mereka juga turut di konversi lebih dari 300 penduduk Bacan.
Sama seperti raja Portugis dan raja Moro, putera Alauddin I, bernama Tanjung menikah dengan Sultan Khairun. Itulah sebabnya, Sultan Khairun bersama dengan anaknya Baabullah selalu meminta kepada Alauddin I untuk sadar dan segera kembali ke agama Islam. Dan bahkan Sultan Baabulah memberikan sebuah ultimatum yang sangat tegas kepada agar segera kembali ke Islam. Dan itu berhasil. Hanya saja sebagian rakyat tidak melakukan rekonversi ke Islam, tetapi sebagian kembali ke Islam. Karena banyak orang-orang penting Bacan yang berhasil dikonversi oleh Portugis ke agama Kristen, maka di tahun 1571 Baabulah mengeluarkan maklumat pelarangan misi Jesuit di seluruh wilayah Ternate, di saat itu pula misi kristenisasi berakhir.

Dari beberapa pengamatan oleh ahli-ahli sejarah kristenisasi di Maluku, keberhasilan misi konversi agama oleh Portugis di kawasan Ternate dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:
Pertama, adanya bantuan keamanan untuk menangkal ancaman kerajaan-kerajaan besar, seperti Penguasa Moro yang melakukan konversi karena mengharapkan bantuan Portugis untuk melindungi Moro dari ekspansi Jailolo dan Ternate.
Kedua adalah dengan keberhasilan membaptis para penguasa, maka rakyat juga berbondong-bondong mengikuti keyakinan rajanya.
Ketiga, adalah hubungan pernikahan. Waktu itu, banyak orang-orang Portugis yang menetap di Ternate mengambil istri perempuan-perempuan lokal untuk dinikahi, maka secara otomatis mereka akan berpindah agama mengikuti keyakinan suami. Banyaknya perempuan Ternate yang mau dinikahi oleh orang-orang Portugis, selain karena faktor ekonomi juga adanya faktor gengsi, sehingga bagi mereka yang menikah dengan orang Eropa menganggap dirinya telah naik derajat sosialnya.
Keempat, adanya ketakutan penduduk lokal kepada roh-roh jahat seperti suwanggi, puntiana, meki yang selalu mengganggu manusia, dengan mendatangi para Frater, mereka biasa diberi beberapa doa dan ramuan tertentu untuk mengusir roh jahat tersebut.
Kelima, pengobatan atas penyakit yang sulit disembuhkan oleh dukun-dukun setempat.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza
Sumber:
K. Subroto, Pengepungan Benteng Portugis, Kekalahan Super Power Portugis Oleh Jihad Baabullah Di Ternate. Syamina Edisi 10 Juli 2016
M. Adnan Amal, 2007; Kepulauan Rempah-Rempah Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950, Makassar. Pukat