(IslamToday.id) — Seperti kita ketahui bersama, bahwa eksistensi Kesultanan demak sebagai representasi kekuatan Islam di Jawa pada awal abad ke -16 mengalami tantangan serius dari keberadaan Portugis. Sebagai negara Kristen Katolik, Eksistensi Portugis di Nusantara semakin kuat sejak jatuhnya Malaka pada tahun 1511 M. Pengaruh Portugis ini tentu saja dianggap Demak sebagai ancaman serius, tak hanya bagi keberlangsungan jalur maritim yang telah dijadikan sebagai denyut utama sisi ekonomi kesultanan Islam di Nusantara, namun juga halangan terhadap dakwah Islam yang mulai membuahkan hasil.
Anggapan Demak terhadap Portugis sebagai rival utama dalam pertarungan eksistensi penyebaran agama Islam ini bukanlah sebuah isapan jempol. Hal ini tentu didasari dari perilaku Portugis sendiri yang memang sengaja melakukan penjelajahan samudra dengan didasari semangat Perang Salib dan memandang semua penganut Islam adalah bangsa Moor dan musuh yang harus diperangi. Bahkan, Alfonso d’Albuquerque ketika berhasil menaklukkan Malaka pada tahun 1511 M. Dalam pidatonya ia mengatakan:
“Raja Portugal telah sering memerintahkan saya untuk pergi ke Selat ini. Ini adalah tempat terbaik untuk mencegat perdagangan yang dilakukan orang-orang Moor (Islam). Dengan mengambil Malaka kita akan menutup selat ini, sehingga tidak ada lagi orang-orang Moor bisa membawa rempah-rempah merea dengan rute ini. Dengan memencilkan orang-orang Moor dari perdagangan rempah-rempah, maka kita bisa mendobrak kekuatan Islam. Saya yakin bahwa, jika perdagangan di Malaka ini diambil dari tangan mereka, Kairo dan Mekah akan benar-benar hilang”
Dengan alasan-alasan tersebut, maka sejak jatuhnya Malaka Kesultanan Demak seketika langsung meresponnya dengan melakukan ekspansi besar-besaran dengan membentuk aliansi bersama Cirebon dibawah komando Pati Unus sebanyak dua kali, yaitu di tahun 1513 dan 1521 M. Pada ekspedisi militer yang kedua, serangan pasukan gabungan tentara Islam Demak mengalami kekalahan dan sekaligus membuat Pati Unus sebagai komandan pasukan tertinggi ikut wafat. Oleh karena itu, sebagai ganti kepemimpinan aliansi pasukan Islam ini ditunjuklah Fatahillah sebagai pengganti oleh Sunan Gunung Jati.

Mengenai sosok Fatahilah sendiri, banyak berbagai versi yang beredar dan diyakini masyarakat dan sejarawan. Diantara banyak pendapat tersebut diantaranya adalah bahwa Fatahillah atau juga sering disebut Faletehan adalah seorang yang berasal dari Pasai, karena negerinya dikuasai Portugis maka membuat dirinya meninggalkan Pasai dan menuju Makkah. Setelahnya beliau pulang ke Nusantara namun tidak kembali menuju Pasai, melainkan memilih menetap di Jawa dan mengabdi kepada Sultan Demak. Oleh karenanya, Fatahilah juga memiliki sebutan ‘Tubagus Pasai’. Sementara riwayat lain mengatakan Fatahilah dilahirkan dengan nama Fadlulah Khan pada taun 1448 dari pasangan Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, salah seorang pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina dengan Ibu bernama Nyai Rara Santang, purti dari raja Padjajaran, Raden Manah Rasa.
Kembali pada masalah pergerakan ekspansi politik Portugis. Setelah berhasil menguasai Malaka dan mengalahkan pasukan Islam, semangat perluasan pengaruh oleh Portugis berlanjut dengan berusaha mencengkram Sunda Kelapa. Dengan memanfaatkan kekhawatiran Kerajaan Padjajaran atas ekspansi wilayah Demak karena masih merupakan kerajaan Hindu, Portugis membujuk Padjajaran untuk mau bekerjasama dengan mereka. Adapun bentuk kerjasama tersebut berhasil dilakukan melalui perjanjian Padrao pada 21 Agustus 1522 yang menyatakan bahwa Portugis akan diberikan tanah di ujung sungai Ciliwung (dikenal Sunda Kelapa) diperbolehkan mendirikan kantor dagang dan membuat benteng.

Adapun sebagai kontra-prestasi, mereka akan memberikan bantuan militer kepada Padjajaran untuk menghalau musuh. Tak hanya itu, bahkan pihak Padjajaran melalui rajanya yang bernama Surawisesa memberikan janji lebih fantastis kepada Portugis, bahwa setelah pembangunan benteng dilakukan, mereka akan diberikan hadiah tambahan berupa 1.000 karung lada.
Setelah ditandatanganinya perjanjian kerjasama antara kerajaan Padjajaran dengan Portugis, maka Demak melihat ini sebagai sebuah ancaman yang sangat besar. Berkaca pada peristiwa jatuhnya Goa di India, dimana Portugis mampu mengalahkan pasukan Kesultanan Islam dengan menggandeng kekuatan kerajaan Hindu, maka Sultan Trenggana tidak mau hal semcam itu dapat terjadi lagi di Jawa. Oleh karenanya, Sultan Trenggana segera mengambil tindakan dengan memerintahkan Fatahillah menyerang mereka sebelum Portugis berhasil menghimpun kekuatan dan berbalik menyerang Kesultanan Demak.
Dengan perintah dari Sultan Trenggana tersebut kemudian Fatahillah mulai melakukan persiapan pasukan. Kekuatan pasukan Demak semakin matang ditambah dengan bantuan dari kesultanan Cirebon. Pasukan Demak terdiri dari pasukan darat dan juga pasukan laut yang sudah terlatih. Setelah siap pasukan dibawah kepemimpinan Fatahillah ini berangkat menuju Sunda Kelapa melalui jalur laut.
Dalam ekspedisi militer ke Sunda Kelapa, Fatahillah selain telah memilih beberapa prajurit dan senopati terbaik dari Demak, beliau juga mendapat dukungan penuh dari Kesultanan Cirebon dan pendukduk Banten yang waktu itu juga terancam dengan keberadaan Padjajaran. Dengan adanya tambahan pasukan Pejuang Islam dari Banten ini menjadikan jumlah pasukan Demak lebih unggul di bandingkan jumlah pasukan dari Padjajaran. Dengan keunggulan jumlah Pasukan serta kemampuan pasukan Fatahillah berhasil menang atas kerajaan Padjajaran. Kekalahan pasukan Padjajaran ini juga disebabkan karena bantuan yang dijanjikan oleh orang Portugis tidak kunjung datang. Dengan keberhasilan pasukan Fatahillah, berarti Demak secara ‘de facto’ memutus kesepakatan antara Padjajaran dengan Portugis.
Pada tahun 1526 M enam armada kapal Portugis berlayar menuju Sunda Kelapa. Terbayang dalam angan mereka akan berdirinya sebuah benteng yang sangat kokoh di Sunda Kelapa dengan megah. Setiap saat bendera Portugis akan tampak berkibar sebagai lambang kekuatan yang segera tegak untuk pertama kalinya di Jawa. Orang-orang Portugis memimpikan seluruh wilayah di Nusantara dari barat hingga timur menjadi wilayah kekuasaan mereka. Akan tetapi persoalan dan rintang orang-orang Portugis adalah eksistensi kerajan Demak, yang wilayah kekuasaannya hampir seluruh Tanah Jawa. Sebuah kekuatan Islam yang pernah mencoba menghancurkan Portugis di Malaka selama dua kali yakni pada tahun 1512 dan 1521 M, namun semuanya menuai kegagalan.
Mengingat perjanjian yang telah dilakukan oleh Albuequrque dengan Padjajaran pada tahun 1522 M, Portugis benar-benar mempersiapkan pengiriman serdadu dengan berbagai perbekalannya untuk membangun benteng di Selat Sunda. Pasukan Portugis dipimpin oleh Francisco de Sa dengan armada kapal kurang lebih 54 kapal dengan jumlah pasukan sekitar 600 orang.
Setelah melewati badai selama pelayaran mereka, orang-orang Portugis akhirnya sampai di tepi pelabuhan Sunda Kelapa. Sesaat setelah kapal-kapal mereka menepi di pelabuhan, diperintahkan seorang utusan untuk menemui penguasa Padjajaran di daerah Sunda Kelapa. Mereka tidak mengetahui bahwa Sunda Kelapa telah jatuh ketangan pasukan Islam Demak dibawah pimpinan Fatahillah. Akhirnya, utusan tersebut menemui Fatahillah untuk menagih janji sebagaimana perjanjian yang dilakukan pada tahun 1522 M.
Namun, permintaan ini ditolak oleh Fatahillah karena perjanjian itu dilakukan oleh kerajaan Padjajaran dengan Portugis, sedangkan kerajaan Padjajaran telah ditaklukkan oleh pasukan Islam Demak. Melihat tanggapan Fatahillah tersebut utusan Portugis marah dan mengancam akan membumihanguskan Sunda Kelapa. Sebagai panglima perang, Fatahillah tidak takut dan gentar dengan ancaman orang-orang Portugis tersebut. Justru, Fatahillah menanti-nantinya untuk membalas kejahatan orang-orang Portugis. Utusan yang diperintahkan de Sa kembali dengan tangan hampa.

Setelah menerima laporan dari utusannya, orang-orang Portugis yang telah mendarat langsung melakukan serangan. Serangan ini dilawan oleh pasukan Islam Demak yang dipimpin oleh Fatahillah yang dibantu oleh pangeran Cirebon. Dalam waktu singkat perang pun pecah dengan dahsyat, lebih dahsyat dari peperangan yang sebelumnya baik pertempuran di darat maupun di laut. Pasukan darat Portugis menggunakan senjata pedang, bedil, dan meriam serta dilengkapi dengan topi baja. Sedangkan, pasukan Islam jalur darat menggunakan tombak, kujang, keris, dan meriam.
Pasukan Fatahillah terus melancarkan serangan atas tentara Portugis. Mereka terdesak mundur dan meminta bantuan pasukan dari armada kapal yang masih berada perairan Sunda Kelapa. Fatahillah mengirimkan mata-mata untuk mengumpulkan informasi tentang kekuatan lawan, setelah mendapat laporan kemudian Fatahillah memerintahkan agar armada kapal perangnya mulai melakukan serangan.
Peluru-peluru meriam besar dari armada kapal perang Portugis, mulai dimuntahkan ke arah armada pasukan Islam. Pasukan Islam dari Cirebon pimpinan Adipati Cangkuwang yang berada di depan, terpaksa terpukul mundur. Oleh karena ukuran meriam Portugis cukup besar dan menyemburkan api serta peluru disertai kepulan asap hitam.
Meskipun dalam keadaan diserang, pasukan Fatahillah terus bergerak maju mengepung pasukan meriam Portugis. Komando Fatahillah untuk menyerbu terdengar lantang oleh pasukan Islam. Dengan bergerak cepat dengan disertai semangat jihad yang selalu berkobar membuat pasukan Portugis berada dalam keadaan terdesak, hingga menimbulkan banyak korban berjatuhan dari pihak Portugis. Tidak mampu menahan serangan yang terus diluncurkan pasukan Islam secara bertubi-tubi akhirnya pasukan Portugis terdesak mundur dan melarikan diri menuju armada kapal.
Dalam keadaan pelarian, pasukan Portugis dikejar oleh pasukan Islam. Salah satu kapal Portugis terkena tembakan meriam armada kapal Fatahillah, kapal tersebut kemudian terbakar dan tenggelam. Meriam besar ini salah satunya adalah meriam yang bernama Ki Amuk yang di pasang di sebelah kanan sayap pelabuhan. Kapal-kapal Portugis yang terdampar dipelabuhan di usir oleh Fatahillah hingga kembali pulang menuju Malaka, dengan membawa kegagalan total.

Kekalahan pasukan Portugis dibawah pimpinan de Sa terjadi pada 22 Juni 1527 M. Dengan kalahnya pasukan Portugis di Sunda Kelapa membuat Sultan Trenggana selanjutnya menjadikan Fatahillah sebagai penguasa setempat. Sejak saat itu pula nama Sunda Kelapa diganti dengan nama ‘Jayakarta’ yang berarti “Kota Kemenangan”.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza
Sumber
Edi S. Ekadjati. Fatahillah: Pahlawan Arif Bijaksana. 1984. Jakarta: Mutiara
Hamka. Sejarah Umat Islam. 2016. Depok: Gema Insani
Rachmad Abdullah, Kerajaan Islam Demak: Api Revolusi di Tanah Jawa 1518-1549 M .2014. Jakarta: Al-Wafi