(IslamToday ID) — Berbicara mengenai kemahsyuran Sunan Giri, tentu tidak akan pernah lepas dari adanya Giri Kedaton sebagai pusat kekuasaan, pusat pendidikan maupun pusat penyebaran Agama Islam. Letak Geografis Giri Kedaton berada di sebuah bukit, tepatnya di Kelurahan Sidomukti, Kecamatan Kebomas, kira-kira 200 meter sebelah Selatan Makam Sunan Giri saat ini.
Awalnya, pada saat itu Sunan Giri berniat merealisasikan pesan yang pernah diberikan oleh ayahnya, yakni Maulana Ishaq untuk menyebarkan Agama Islam di Jawa Timur. Banyak pihak yang mendukung niat Raden Paku untuk menyebarkan Agama Islam, di antaranya yakni Raden Rahmat (Sunan Ampel) sebagai guru yang telah membekali ilmu sejak berumur 12 tahun serta Nyai Ageng Pinantih sebagai ibu angkatnya.
Dalam kajian Lembaga Research Islam Pesantren Luhur Islam Sunan Giri Malang dengan judul Sejarah dan Dakwah Islamiyah Sunan Giri, disebutkan bahwa sepulang dari berguru pada Maulana Ishaq, Raden Paku mendapatkan bekal sebuah jubah panjang serta dua orang teman yang bernama Syeh Gerigis dan Syeh Koja. Bukan hanya itu, Raden Paku juga mendapat segumpal tanah sebagai alat untuk mencari tempat bila akan mendirikan pesantren dalam komunitas muslim di Gresik. Maka Raden Paku pun pergi mengembara mencari daerah atau tempat yang sesuai untuk mendirikan pesantren. Melalui desa yang bernama Margonto yang termasuk daerah Gresik, sampailah Raden Paku ke tempat tinggi atau sebuah bukit. Dengan bantuan Syeh Koja dan Syeh Grigis ditemukanlah tanah di bukit Gresik, karena disitulah tanah yang sama dengan segempal tanah yang diperintahkan oleh Maulana Ishaq, Ayah Sunan Giri. Tanah yang dibawanya dari Pasai tempat ayahnya itu, baik warna maupun baunya seperti yang dikehendakinya. Hal ini terjadi pada tahun Saka menuju tahun Jawi dengan Candra Sengkala : “tingali luhur dadi ratu” (1403 Saka) atau (1480 Masehi).
Pesantren yang telah berhasil didirikan oleh Sunan Giri, pada akhirnya mengalami perkembangan fungsi menjadi pusat kekuasaan politik. Sepeninggal Raden Rahmat, Pemerintahan Majapahit menyerahkan kekuasaan kepada Sunan Giri. Memang pada saat itu posisi politik Maharaja Majapahit melemah. Bermula pada tahun 1478, dimana Islam sudah dipeluk oleh penduduk Jawa Timur, terutama di daerah pesisir utara, banyak dari daerah-daerah mulai berusaha melepaskan diri dari pengaruh Majapahit. Melemahnya pemerintahan dan pengawasan pusat atas daerah ini dibuktikan dengan timbulnya sikap longgar dari para penguasa.
Awal berdirinya Pesantren Giri ternyata menimbulkan kekhawatiran bagi penguasa pedalaman di Jawa Timur, yaitu Majapahit. Untuk menghindari konfrontasi dengan kekuatan baru tersebut, para penguasa Majapahit memberikan otonomi penuh kepada Sunan Giri untuk mengatur pemerintahannya daripada menggunakan kekuatan senjata. Penguasa Giri bebas dari pengaruh Majapahit, kemudian semakin lama semakin yakin akan kekuasaan sendiri, terutama di bidang ekonomi dan politik di daerahnya. Pesantren Giri pun berkembang menjadi kekuatan politik yang cukup berpengaruh di pulau Jawa.
Sebelum Raden Paku menetapkan diri sebagai raja di kedaton yang baru dibangunnya. Pertama kali yang beliau lakukan adalah meraih dukungan penuh dari masyarakat, sebagai salah satu syarat dan penyanggah kekuatan politiknya kelak. Tentu saja dukungan itu tidak sulit diperoleh Raden Paku, mengingat sejak awal beliau memang termasuk tokoh yang populer dan memiliki santri cukup banyak serta menyebar di seluruh Nusantara, mulai dari Kalimantan, Sulawesi, Madura, Maluku, dan Nusa Tenggara.
Sementara itu, Peneliti Belanda De graaf dan Pigeaud dalam bukunya Kerajaan Islam Pertama Di Jawa Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI mengammbarkan bagaimana proses berdirinya Giri Kedaton menjadi sebuah kerajaan yang independen. Dari berbagai sumber cerita tutur Jawa menyebutkan tahun-tahun kejadian terbentuknya Giri Kedaton sebagai berikut, 1477, Nyai Ageng Pinantih meninggal, 1485 pembangunan kedaton (istana), dan tiga tahun kemudian pembuatan kolam. Kolam yang dibuat pada 1488 ini berupa suatu kompleks “taman indah” dengan danau buatan yang berisi kura-kura, beserta pulau kecil di tengahnya lengkap dengan balai kecil yang biasa disebut ‘bale kambang’. Bangunan “taman air” (taman sari) demikian itu sejak dahulu kala merupakan bagian dari kompleks istana raja di Jawa. Memiliki taman semacam itu tentu menambah wibawa dan kekuasaan pemimpin agama pertama di Giri. Raden Paku membuka dan menjadikannya gunung Kedaton menjadi tempat tinggal dan kerajaan susun tujuh untuk shalat dan tidur. Di tempat inilah Sunan Giri dinobatkan dengan mendapat gelar Prabu Satmata pada tahun 1409 Saka/1487 M tepatnya pada tanggal 12 Rabbiul Awal 894 H.
Munculnya Giri Kedaton berkaitan dengan kondisi masyarakat sebagai bagian dari hierarki kekuasaan. Kedaton sebagai pusat administratif suatu pemerintahan sekaligus pusat pemukiman. Disini dapat dilihat bahwa Kedaton memiliki tiga komponen yakni: alun-alun, istana, pasar. Pemukiman pada saat itu terdiri atas Kauman, Jaraganan, Kajen, dan sebagainya. Demikian juga batas-batas wilayahnya misalnya, Kawisanyar, Kebon dalem, Tambak Boyo. Ini telah menunjukkan bahwa memang pada masa itu pernah berdiri pusat pemerintahan di Giri Kedaton.
Sementara itu Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Walisongo memberikan uraian lain yang melengkapi penggambaran Giri Kedaton. Bahwa keberadaan kekuasaan politis Sunan Giri, mengikuti pola kekuasaan yang berlaku dewasa itu. Hal ini ditandai oleh dua tempat utama yang berkaitan dengan keberadaan seorang penguasa, yaitu Bangsal dan Puri. Adapun yang dimaksud dengan bangsal adalah pusat kekuasaan raja, atau sebuah kompleks perkantoran tempat raja bekerja menjalankan tugas sebagai kepala negara dan sebagai pemegang otoritas hukum dan keagamaan. Di kompleks bangsal ini, raja menerima tamu negara, memimpin rapat para menteri, menerima persembahan upeti atau hadiah, menjatuhkan keputusan-keputusan hukum dan lain sebagainya.
Bansgal-bangsal ini, biasanya dinamai sesuai fungsinya masing-masing, seperti Bangsal Sri Manganti, Bangsal Manguntur, Bangsal Sasana Sawaa dan lain-lain. Menurut kajian toponomis penelitian Balitbangda Gresik, menyebutkan bahwa Desa Menganti yang terletak di Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik, dulunya adalah bangsal utama yang menjadi pusat pemerintahan Sunan Giri. Dan sebagaimana lazimnya pemerintahan saat itu, di dekat bangsal Sri Manganti terdapat kantor patih yang disebut Kepatian, yang saat ini tersisa menjadi Desa Kepatihan.
Adapun Puri adalah kompleks tempat raja menjalankan fungsi sebagai pemimpin keluarga sekaligus pemimpin adat dan tradisi. Di kompleks puri, selain terdapat kediaman raja dan keluarga juga terdapat keputrian, tamansari, gedung perbendaharaan raja, penggawa pengawal raja, juga terdapat tempat khusus untuk peribadatan raja. Dari sinilah, Agus Sunyoto berpendapat bahwa selain sebagai sosok pemimpin spiritual di kawasan Gresik, namun Sunan Giri juga sekaligus sebagai pemimpin politik. Dengan hal ini aspek dakwah yang dilakukan oleh Sunan Giri sebagai seorang penguasa tentu memiliki jangkauan yang lebih luas daripada hanya berperan sebagai pemipmpin spiritual.
Sebagai seorang raja, Sunan Giri memerintah kerajaan Giri Kedaton kurang lebih 20 tahun lamanya, hingga beliau wafat pada tahun 1428 Saka/1506 M, dimakamkan di Giri Gajah. Pemerintahan Giri berlangsung kurang lebih 200 tahun. Sepeninggalnya Prabu Satmata (Sunan Giri), kerajaan Giri Kedaton dipimpin oleh beberapa tahap yakni oleh para penguasa bergelar sunan, lalu berganti gelar menjadi panembahan, hingga menjadi pangeran. Giri Kedaton pada masa kesunan adalah satu kurun waktu dimana raja-raja yang memerintah bergelar Sunan.
Sesudah Sunan Giri, secara berturut-turut diperintah oleh Sunan Dalem (1506-1545 M), Sunan Seda ing Margi (1545-1548 M), kemudian Sunan Prapen (1548-1605 M). Pengganti Sunan Prapen tidak lagi bergelar Sunan tapi panembahan. Diantara para penguasa yang bergelar Panembahan yakni Panembahan Kawis Guwo (1605-1616 M), Panembahan Agung (1616-1636 M), Panembahan Mas Witono (1636-1660).
Sesudah meninggalnya Panembahan Mas Witono, Amangkurat I mengganti gelar penguasa Giri Kedaton menjadi Pangeran, yakni Pangeran Mas Witono (1660-1680), Wirayadi (1680-1703 M), Singanegara (1703-1725), dan terakhir Pangeran Singasari (1725-1743 M). Kelebihan dari Kerajaan Giri Kedaton ini ialah tidak pernah terjadi perkelahian atau konflik untuk memperebutkan kekuasaan sebagai raja.
Kerajaan Giri Kedaton mengalami puncak kemajuan pada masa Sunan Prapen yakni mulai tahun 1548 sampai 1605. Pada periode inilah Kerajaan Giri Kedaton berada di puncak keemasan, karena pada saat itu Giri tampil sebagai kerajaan yang berpengaruh yakni sebagai tempat legitimasi politik. Munculnya kekuasaan rohani dan politik yang kemudian memperoleh supremasi di Jawa dan daerah lainnya menyebabkan seluruh aktivitas kehidupan di Gresik tidak mungkin dipisahkan dengan Giri.12 Pengaruh kekuasaan rohani Sunan Prapen dalam perkembangan politik di Jawa dapat dibuktikan ketika Sultan Pajang, yakni Kyai Gedhe Pemanahan datang menemui Sunan Prapen untuk meminta legitimasi menjadi raja di Pajang. Menurut cerita-cerita tradisional, Sunan Prapenlah yang memberi legitimasi kekuasaan pada raja Pajang dan Mataram. Pengaruh semacam itu bertahan kurang lebih sampai 1680.
Demikian, keberadaan Giri Kedaton sebagai bukti sejarah yang telah merekam kegemilangan dakwah Islam di Tanah Jawa. Pengaruh Giri Kedaton rupanya tak hanya sebatas pengaruh spiritual saja, namun lebih daripada itu memiliki pengaruh di segala aspek lini kehidupan termasuk ekonomi, militer dan politik. Salah satu bukti pengaruh besar Giri Kedaton hingga keluar Jawa adalah perubahan bentuk kekuasaan politik di Kesultanan Ternate.
Dimana Pada 1494, ditemani oleh Maulana Husein, Sultan Zainal Abidin melakukan perjalanan ke Giri, Jawa Timur, untuk lebih memahami ajaran Islam pada Sunan Giri. Adapun alasan memilih Sunan Giri sebagai tujuan menimba ilmu, lantaran sosok Sunan Giri memang dikenal sebagai guru dari guru tentang ilmu Islam sekaligus ilmu Tata Negara, bahkan anak-anak Raja Majapahit dan Sultan-Sultan di Jawa semua berguru dan mendapat legitimasi dari sang Wali tersebut.
Dengan demikian, Zainal Abidin selain sebagai Raja Maluku pertama yang menggunakan gelar Sultan, juga adalah Sultan Maluku pertama yang belajar Agama Islam langsung pada Sunan Giri. Setelah tiga bulan belajar di madrasah Sunan Giri (Giri Kedaton), ia kembali ke Ternate dengan memboyong beberapa ulama Jawa untuk mengajarkan Islam di Ternate. Di antara ulama-ulama asal Jawa itu ada yang diangkatnya sebagai imam atau lebih dikenal dengan sebutan modin/moding.
Penulis: Muh Sidiq
Editor: Tori Nuariza
Sumber:
Agus Sunyoto. 2016. Atlas Walisongo. Tangerang Selatan:Pustaka IIIMaN
De Graaf. 1990. Puncak Kekuasaan Mataram Politik Ekspansi Sultan Agung .Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti
De graaf, Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama Di Jawa Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI
.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lembaga Research Islam Pesantren Luhur Islam Sunan Giri. 1975. Sejarah dan Dakwah Islamiyah Sunan Giri .Malang: Pesantren Luhur.