IslamToday ID — Rumah sakit dalam peradaban Islam dikenal dengan nama bimaristan. Dalam sejarah peradaban Islam bimaristan menjadi tempat merawat pasien dengan berbagai penyakit baik itu menular atau tidak menular. Bahkan pembangunan bimaristan disesuaikan dengan jenis penyakit tertentu.
Dalam penanganan penyakit menular, peradaban Islam mencontohkannya dengan keberadaan bimaristan penyakit kusta. Bimaristan ini khusus bagi pasien penderita kusta. Al Walid bin Abdul Malik merupakan pendiri dari rumah sakit khusus bagi penderita kusta. Tujuan utama dibangunnya bimaristan ini ialah untuk mengisolasi para penderita kusta, sehingga seluruh lapisan masyarakat merasa terlindungi.
Husain Nagamia dalam bukunya berjudul Islamic Medicine History and Current Practice mengungkapkan bagaimana sistem bangsal yang berlaku di era peradaban Islam. Bangsal pasien atau ruang rawat pasien dipisahkan berdasarkan jenis penyakitnya menular atau tidak. Dan kini praktek ini sedang dilakukan untuk menangani pasien Covid-19.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Prof. Dr. Raghib As-Sirjani dalam bukunya “Sumbangsih Peradaban Islam Pada Dunia”. Menurutnya rumah sakit atau bimaristan memiliki langkah-langkah yang unik untuk menghindari penularan penyakit. Pertama kali ketika seorang pasien masuk ke rumah sakit maka ia segera menyerahkan pakaian yang dipakainya kepada pihak rumah sakit. Sebagai gantinya pasien akan menerima pakaian baru secara cuma-cuma alias gratis. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya penularan penyakit melalui pakaian.
Selain mengganti pakaiannya dengan pakaian baru, pasien juga akan ditempatkan di ruangan khusus sesuai dengan jenis penyakit yang dideritanya. Pasien pun tidak diperkenankan masuk ke ruangan lain selama masa perawatan, hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penularan penyakit. Pasien tidur di ranjang yang tersendiri, rumah sakit menyediakan fasilitas selimut khusus untuk pasien, begitu pula jenis obat yang diberikan untuk pasien.
Kisah-kisah di atas jelas menggambarkan bagaimana rumah sakit Islam memberikan perhatian dan perlakuan khusus bagi pasien apapun jenis penyakitnya. Termasuk ketika penyakit tersebut adalah penyakit yang berpotensi menimbulkan penularan.
Sistem Karantina
Seorang penulis Anne Rooney dalam bukunya berjudul The Story of Medicine dan penulis lain seperti Edward Curtis melalui bukunya The Bloomsbury Reader on Islam in the West. Kedua penulis tersebut mengatakan bahwa konsep penyakit menular tidak ditemukan dalam ilmu kedokteran kuno. Konsep ini baru dikenal setelah Rasulullah Muhammad bersabda tentang perintah menghindari pengidap penyakit tertentu. Sejak saat itu para ilmuwan muslim terpacu untuk melakukan penelitian.
Salah satu ilmuan tersebut ialah Ibnu Sina, di abad ke-11 atau sekitar tahun 1020’an ia memperkenalkan konsep al-Arba’iniya yang artinya empat puluhan. Sebagai seorang dokter ia mempraktikkan konsep karantina 40 hari. Sebuah konsep tentang pemisahan pasien pengidap penyakit menular seperti kolera, campak ,kusta, dan lain-lain untuk mencegah penularan.
Bangsa Eropa di abad ke-14 mempraktekan konsep serupa ketika wabah pes melanda kota Venecia, Italia. Venesia merupakan kota pelabuhan yang sangat akrab dengan kebudayaan Islam. Mereka mempraktekan konsep karantina 40 hari milik Ibnu Sina. Di Italia konsep ini bernama quarantena (40 hari), yang kemudian mejadi quarantine dalam bahasa Inggris dan dalam bahasa Indonesia disebut karantina.
Pemberian Disinfektan
Pemanfaatan alkohol sebagai disinfektan untuk membasmi virus Covid-19 misalnya tidak lepas dari tradisi keilmuan masa keemasan peradaban Islam. Cairan disinfektan tersebut akan berfungsi maksimal jika terdapat kandungan alkohol 60-70%. Setidaknya ada dua jalur ilmuwan Islam dalam hal ini.
Pertama istilah alkohol yang ditemukan dalam kamus lengkap Bahasa Inggris Merriam-Webster. Dalam kamus tersebut dijelaskan bahwa kata alkohol berasal dari bahasa Arab “al-Khul” yaitu senyawa-senyawa yang berhasil disarikan dari proses distilasi. Proses pemisahan senyawa ini sering dilakukan oleh pelopor alkimia, Jabir ibn Hayyan.
Kedua berdasarkan pemaparan Muhammad ibn Zakariya al-Razi seorang ilmuwan Persia yang menulis kitab “al-Hawi”. Ia menjelaskan fungsi alkohol sebagai antiseptik dalam pembedahan.
Prosedur pemberian disinfektasi ini ini selanjutnya diterapkan di bimaristan-bimaristan di Kota Baghdad sekitar abad ke-9, baru pada kemudian hari metode ini menyebar ke seluruh dunia.
Penulis: Kukuh Subekti
Redaktur: Tori Nuariza