ISLAMTODAY ID — Menelusuri kiprah besar Masyumi di Indonesia harus dimulai dengan memahami setting waktu yang melatarbelakangi. Semua berawal dari peristiwa pergerakan pemuda Indonesia pada awal abad ke-20. Saat itu seluruh pemuda terpelajar di kawasan Hindia-Belanda sedang bersemangat membentuk persatuan.
“Pada awal abad ke-20 di kalangan kaum terpelajar itu lagi mode (tren) gitu dimana orang-orang membentuk perkumpulan pemuda. Ada perkumpulan pemuda Ambon, Jong Ambon, ada perkumpulan pemuda Sumatera, Jong Sumatranen Bond. Bahkan ada perkumpulan pemuda tingkat kabupaten Jong purworejo,” kata Penulis Biografi Mohammad Natsir, Lukman Hakiem saat mengisi webinar di Ponpes Budi Mulia Yogyakarta (18/1/2021).
Lukman Hakiem mengungkapkan pada saat itu terjadi fenomena yang menarik di kalangan organisasi pemuda, terutama di Jawa. Para pemuda yang tergabung dalam organisasi Jong Java rata-rata memiliki pembimbing agama khusus. Terutama dari kalangan Katolik dan penganut teosofi (aliran kebatinan), namun hal ini tidak berlaku bagi kalangan pemuda Islam upaya mereka untuk setara begitu sulit dan rumit.
Ia mengatakan hal ini membuat resah para pemuda Islam saat itu. Ada semacam ‘kecemburuan’ di internal mereka. Hingga akhirnya pada Kongres Jong Java yang berlangsung di Jogja keresahan tersebut disampaikan.
“Melihat kenyataan itu kemudian para anggota Jong Java yang beragama Islam dalam Kongres Jong Java pada Desember 1924 di Jogja mengusulkan kepada kongres supaya kepada para anggota Jong Java beragama Islam diberikan kursus Islam,” ungkap Lukman.
“Entah kenapa usul yang sangat sederhana itu kemudian menjadi ruwet. Jadi untuk menyetujui atau menolak usul pengajaran agama Islam kepada anggota Jong Java, sampai-sampai harus diadakan voting,” jelas Lukman.
Lukman mengungkapkan insiden tersebut akhirnya membuat Ketua Jong Java Syamsurijal mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua Jong Java. Begitu rumitnya hingga kongres mengalami kebuntuan, dan meminta Syamsurijal untuk mengambil keputusan. Bagi Syamsu hal ini sangat dilematis, demi keutuhan organisasi ia memilih menolak usulan tersebut.
“Dengan memahami semangat yang berkembang saat itu (menolak pengajaran), Syamsurijal kemudian menyatakan kongres menolak kursus agama Islam,” tutur Lukman.
“Sambil menyampaikan keputusan itu, Syamsurijal menyatakan mengundurkan diri sebagai anggota Jong Java,” imbuhnya.
JIB dan Kaderisasi Pemuda Islam
Rupanya mundurnya Syamsurijal ini menjadi awal yang baru bagi lahirnya Jong Islamieten Bond (JIB). Syamsu beserta teman-temannya yang beragama Islam yang mundur dari Jong Java seperti Kasman Singodimejo, Prawoto bertemu dengan Haji Agus Salim. Pada kesempatan tersebut mereka mencurahkan segala unek-unek mereka selama di Jong Java.
Gayung bersambut, Haji Agus Salim menyambut mereka dengan menjadikan mereka sebagai ‘murid’. Sejak saat itu dengan telaten Haji Agus Salim membimbing Syamsurijal dkk. Dari diskusi singkat mereka dengan Agus Salim lahirlah organisasi JIB pada 1 Januari 1925.
“Maka pada tanggal 1 Januari 1925 berdirilah Jong Islamieten Bond, Perkumpulan Pemuda Islam. Inilah cikal bakal, kawah candradimuka dari kader-kader dari calon-calon pemimpin umat, pemimpin bangsa,” ujar Lukman.
Dari JIB inilah nantinya lahirlah para pemuda yang kelak menjadi tokoh-tokoh kemuka bangsa Indonesia. Sosok Agus Salim, Tjokro Aminoto, Syekh Ahamd Sukarti adalah pembimbing yang berhasil melahirkan generasi baru seperti Kasman Singodimejo, Prawoto, hingga era Muhammad Imaduddin Abdulrahim (Bang Imad).
“Karena dari sini kemudian lahir nanti tokoh-tokoh pemimpin bangsa. Haji Agus Salim dengan sungguh-sungguh dia membina, dia membimbing para pemuda itu,” ucapnya.
“Dan ini menarik cara Haji Agus Salim membimbing anak muda itu menarik. Haji Agus Salim itu tidak pernah mendiktekan sesuatu kepada anak-anak muda,” terangnya.
Pemuda Islam dan Dakwah
Dakwah adalah landasan para pemuda Islam saat itu untuk bersatu membentuk organisasi. Sudut pandang ini bahkan berlanjut hingga Indonesia merdeka. Indonesia di mata para pemuda Islam adalah wadah untuk berdakwah.
Pandangan tersebut bahkan melatarbelakangi berdirinya Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Mereka memperjuangkan hal yang sama yakni menegakkan kedaulatan Indonesia dan meneguhkan agama Islam.
“Jadi tidak macam-macam, yang penting negara ini tegak, Islam tegak. Dalam negara Indonesia ini ditegakkanlah ajaran Islam,” ungkap Lukman.
“Nanti kita lihat HMI yang berdiri pada tanggal 5 Februari 47, tujuannya juga seperti itu,” tandasnya.
Pola kaderisasi yang diterapkan oleh Agus Salim diteladani juga oleh tokoh Masyumi, Muhammad Natsir. Ia mendidik generasi muda setelahnya untuk menegakkan Islam di Indonesia. Para pemuda tersebut diantaranya ialah Bang Imad, ia dan beberapa kader-kader Masyumi di tanah air. Natsir merekrut melatih mereka untuk bisa menjadi guru agama Islam di kampus-kampus negeri di Indonesia.
“Mereka (tokoh Masyumi) melihat mulai berdiri sekarang perguruan tinggi ITB, ada Unpad, ada IPB, ada UGM, ada UNAIR. Di perguruan tinggi perguruan tinggi itu harus dipersiapkan tenaga pengajar yang bisa memberi pelajaran agama Islam kepada para mahasiswa,” ujarnya.
“Maka Pak Natsir kemudian memanggil kader-kadernya (contoh) dari ITB dipanggilnya Imaduddin Abdulrahim, dipanggilnya Endang Saifuddin Anshari,” jelas Lukman Hakim.
Penulis: Kukuh Subekti