ISLAMTODAY ID — Perlawanan rakyat Minang terhadap Hindia-Belanda salah satunya dilakukan dengan syair pantun. Pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 M terdapat sebuah pantun yang juga kerap dikutip oleh Buya Hamka. Pantun tersebut berberbunyi “dahulu rahab nan bertangkai, kini kopi nan berbunga, dahulu adat lebih dipakai, kini rodi lebih berguna.”
Pantun di atas sangat familiar bagi masyarakat Minang, sebab merupakan suatu bentuk ekspresi perlawanan terhadap pemerintah Belanda. Di antara kebijakan-kebijakan Belanda yang ditentang oleh masyarakat Minang adalah rodi (kerja paksa), belasting (penerapan sistem pajak) dan ordonansi sekolah liar. Saat itu, para ulama adalah pemimpin perlawanan untuk menentang kebijakan-kebijakan kolonial Belanda yang berlangsung hingga hingga awal abad ke-20.
Hal ini diungkapkan oleh Pramono, dosen Sastra Minangkabau, Universitas Andalas saat webinar Balai Litbang Agama (BLA) Jakarta (17/9/2020). Ia mengungkapkan bagaimana ulama-ulama di Minangkabau melakukan perlawanan melalui karya tulis berupa manuskrip yang isinya berkaitan dengan semangat nasionalisme kebangsaan.
“Semangat dan bela negara pun menjadi perhatian ulama pada masa itu ini dibuktikan dengan banyaknya karya-karya yang dihasilkan ulama yang menyentuh topik tema yang berkenaan dengan nasionalisme, bela negara,” tutur Sekretaris Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) itu.
Dalam konteks perlawanan terhadap penjajahan di Minangkabau, tidak bisa dilepaskan dari tiga elemen seperti ulama, manuskrip dan surau. Surau bahkan menjadi tempat yang sangat penting bagi perjuangan melawaan kolonialisme di akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 itu. Surau tidak hanya berperan sebagai tempat belajar Al-Qur’an, belajar tasawuf, adab, ilmu agama dan lain sebagainya.
“Surau pada masa tersebut berkembang menjadi sebuah benteng pertahanan terhadap berkembangnya dominasi kekuatan penjajahan Belanda,” ungkap Pramono.
Pramono mengungkapkan setidaknya ada 1.000 naskah tersebar di Sumatra Barat. Tidak sedikit naskah yang ditemukan dalam kondisi yang cukup parah keterbatasan sumberdaya menjadikan naskah-naskah yang ada di Minangkau tidak bisa segera diselamatkan.
Sementara itu, berkenaan dengan surau dijelaskannya sebagai sebuah tempat penyimpanan naskah-naskah salinan atau skriptorium. Surau juga menjadi benteng pertahanan dari penjajahan Belanda, selain itu surau menjadi pusat kegiatan intelektual sekaligus menjadi pusat kegiatan masyarakat Minangkabau.
Manuskrip dan Semangat Perlawanan
Diantara naskah-naskah tersebut karya para ulama Minangkabau yang berhasil ditemukan oleh Pramono di Minangkabau, yakni Naskah Tuanku Imam Bonjol karya Tuanku Imam Bonjol, Syair Perang Kamang karya Haji Ahmad Marzuki, Sejarah Ringkas Syekh Muhmmad Nasir (Surau Baru) Imam Maulana Abdul Manaf Amin Al-Khatib, Sejarah Ringkas Syekh Paseban karya Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib, Syair Pelarian dari Kejaran Belanda karya Syekh Sidi Jamadi, Catatan Rapat Ordonansi Sekolah Liar karya Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA-ayah Buya Hamka), sisanya adalah naskah tambo dan Undang-undang Minangkabau.
Manuskrip Imam Bonjol ditulis langsung oleh Imam Bonjol dan putranya, Naali Sutan Chaniago yang isinya terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama (1-190) berisi memoir Tuanku Imam Bonjol, Bagian kedua (191-324) berisi memoir putranya. Berikutnya memoar ketiga (325-332) berisi notulensi dua rapat yang diadakan di dataran tinggi Minangkabau pada tahun 1865 dan 1875.
Naskah ini telah ditransliterasikan oleh Safnir Abu Naim pada tahun 1984. Hasil transliterasi naskah yang sempat hilang selama dua puluh tahun ini juga telah dicetak pada tahun 2004 silam. Kini manuskrip Imam Bonjol telah kembali dn dirawat oleh Pemerintah Provinsi Sumatra Barat. Menurut keterangan sejarwan asing, naskah ini menggambarkan kondisi Minangkabau pada abad ke-18-19.
Naskah kedua berupa Syair Perang Kamang yang di dalamnya mengisahkan tentang sosok ulama penentang Belanda bernama Syekh Abdul Manan. Ia adalah ulama yang mengobarkan semangat perlawanan kepada Belanda. Ia mengajak warga masyarakat Minang untuk menolak membayar belasting atau pajak kepada pemerintah Belanda.
Manuskrip ini berisi syair yang mengisahkan tentang peristiwa perang di Kamang pada tahun 1326H atau bertepatan dengan tahun 1908 M. Keberadaan naskah ini diketahui berdasarkan salinan cetakan manuskrip yang dicetak pada tahun 1926.
Berikutnya adalah naskah manuskrip sejarah ringkas Syekh Muhammad Nasir (Syekh Surau Baru). Umur naskah ini relatif baru yakni pada 1413H atau 7 Mei tahun 1993. Manuskrip ini tidak terlalu tebal yakni hanya 99 halaman. Naskah ini terdapat empat bagian isi, khusus masalah yang berkaitan dengan nasionalisme kebangsaan ada pada bagian pertama (hlm.1-57) yang di dalamnya memuat riwayat hidup dari Syekh Muhammad Nasir.
Pada bagian pertama tersebut dikisahkan tentang upaya perlawanan kepada pemerintah kolonial yang terjadi di Koto Tangah dan Pauh. Pemberontakan ini dipimpin oleh salah seorang murid dari Syekh Muhammad Nasir yang bernama Pakih Mudo.
Sementara isi naskah di bagian kedua berisi tentang tarekat (hlm 58-82), bagian ketiga hlm.82-91 berisi tentang uraian sejarah Bersafar di Tampat Batu Singka (merupakan makam Syekh Muhammad Nasir di Air Dingin Lubuk Minturun). Berikutnya bagian naskah yang terakhir (hlm.92-98) berisi tentang amalan khusus untuk bertanam, ilmu laduni, hendak bertemu jin, amalan untuk memudahkan menghafal pelajaran dan takwil gempa.
Ulama berikutnya yang juga meninggalkan karya tulis berupa manuskrip adalah Syekh Paseban (1817-1937). Ia memiliki nama Keraping dengan gelar Sidi Alim. Ia juga merupakan pemimpin tarekat Syattariyah yang masyhur di Koto Tangah. Sama seperti Syekh Abdul Manan ia juga menentang perintah pembayaran belasting (penerapan sistem pajak) oleh pemerintah kolonial Belanda.
Naskah ini juga mengisahkan bagaimana upaya pemerintah Belanda menghentikan perlawanan yang dipimpin oleh Syekh Paseban. Pemerintah Belanda membujuknya dengan menawarkan bintang kehormatan kepadanya. Namun ia menolak tawaran tersebut dengan mengatakan “Yang akan memberi saya bintang adalah Tuhan, tidak Belanda.”
Sosok ulama lain yang juga meninggalkan sebuah karya manuskrip adalah Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA) atau biasa dikenal dengan nama Haji Rasul. Ia merupakan ayah dari Buya Hamka. Haji Rasul meninggalkan sebuah catatan tentanng hasil rapat perlawanan ordonansi sekolah liar tahun 1932 serta salinan peraturan tentang rodi (kerja paksa) dengan menggunakan aksara jawi. Dimungkinkan maksud dari adanya catatan tersebut adalah agar masyarakat Maninjau mengetahui tentang kebijakan-kebijakan Belanda yang harus dilawan oleh masyarakat setempat.
Penulis: Kukuh Subekti / Redaktur: Tori Nuariza