ISLAMTODAY ID — Momentum perayaan lebaran di berbagai belahan dunia identik dengan silaturahmi yang biasanya dibarengi dengan makan-makan bersama.
Berbicara tentang makanan setiap daerah memiliki makanan khas yang biasanya disajikan setiap perayaan hari-hari besar seperti Idul Fitri.
Dari berbagai ragam makanan sajian khas lebaran yang ada, beberapa diantaranya merupakan makanan yang berkembang era kesultanan dan kerajaan Islam.
Sebut saja roti Jala (Kesultanan Deli), rendang (Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau), ketupat (Kesultanan Demak) dan Barongko (Kerajaan Bugis).
Berikut ini aneka jenis makanan di Nusantara yang biasanya disajikan setiap perayaan lebaran. Makanan-makanan era kerajaan Islam ini masih dinikmati hingga sekarang.
- Roti Jala
Roti Jala merupakan salah satu jenis makanan yang khas dan menjadi ciri khas bagi masyarakat Melayu. Bagi rakyat Kota Medan roti ini memiliki makna dan kisah sejarah penting bagi perkembangan kehidupan sosial budaya Kota Medan.
Roti yang berbentuk menyerupai jala atau jaring bertekstur lembut dan kenyal ini dibuat dengan tepung terigu dinikmati dengan kari kambing, sapi atau ayam.
Makanan ini pun memiliki nama yang berbeda-beda di setiap daerah di kawasan Melayu. Masyarakat di Kepulauan Riau misalnya memberinya nama roti Kirai.
Sementara masyarakat Melayu di Singapura dan Malaysia menyebutnya dengan nama Kirey.
Selain pemberian nama yang berbeda cara penyajiannya juga ada beberapa macam. Selain disajikan dengan kuah kari daging roti Jala di Riau daratan (Pekanbaru) menyantapnya dengan santan gula merah dan buah durian.
Roti ini disebut-sebut diadaptasi dari roti khas India yakni roti Canai, hanya saja roti Jala disajikan dengan disertai kuah kari atau kuah manis. Sebuah kuliner tradisional khas Melayu yang ada dan familiar seiring dengan datangnya para imigran India ke Kepulauan Melayu, khususnya era Kesultanan Deli.
Kedatangan para imigran India di Sumatera Utara pertama kali terjadi pada tahun 1873. Mereka lantas menerima wakaf tanah pada saat Kesultanan Deli dibawah pemerintahan Sultan Seripaduka Tuanku Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alam Shah (1879-1924).
Ia adalah sultan ke-9 di Kesultanan Deli, Medan. Pada masanya dibangun pula istana Maimun (Maimunah-rahmat) di Kota Medan.
Saat itu sang sultan mewakafkan tanah untuk pendirian sebuah masjid bagi komunitas muslim asal India Selatan. Orang-orang India Tamil sengaja didatangkan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk keperluan perkebunan Tembakaku di Medan pada tahun 1873.
Masjid yang terletak di Kampung Madras, Kecamatan Medan Polonia tersebut kelak diberinama dengan nama Masjid Ghaudiyah. Kini masjid ini dikelola oleh Yayasan The South Indian Moslem Mosque & Walfare Committee.
- Rendang
Rendang sebenarnya merupakan olahan masakan khas Minangkabau, Sumatera Barat (Sumbar). Seiring berjalannya waktu olahan daging sapi ini kini sudah menyebar di berbagai kawasan Nusantara.
Masyarakat Nusantara di luar Minang pun akhirnya menjadikannya menu ‘wajib’ yang disajikan saat lebaran tiba. Hal ini tidak lepas dari kebiasaan orang Minang yang gemar merantau ke luar Sumbar dan memperkenalkan makanan tradisional mereka.
Rendang adalah olahan daging yang kaya akan bumbu rempah-rempah. Dalam beberapa literature dijelaskan jika keberadaan rendang sebagai makanan khas Minang ini tidak bisa dilepaskan dari keberadaan imigran dari India dan Arab.
Seperti diketahui berbagai sumber sejarah menjelaskan tentang kedatangan komunitas para pedagang Arab pada masa lalu telah banyak yang singgah di Pantai Barat Sumatera. Rendang ialah olahan daging sapi yang biasanya digunakan untuk bekal perjalanan yang memakan waktu cukup lama.
Daging sapi yang gurih dan lezat ini memiliki nilai filosofis di dalamnya terdapat musyawarah dan mufakat. Dua hal ini dilambangkan oleh setiap bahan-bahan pembuatan rendang.
“Rendang bukan sekedar makanan tapi ada filosofi lain,” kata Fadhia Ilham salah seorang masyarakat pembuat rendang dilansir dari kanal youtube TV One News (18/5/2019).
Daging melambangkan sosok Niniak Mamak (para pemimpin adat) sosok yang dituakan, kelapa simbol dari Cadiak Pandai (sosok cendekiawan). Sementara cabai dan bumbu rempah melambangkan sosok ulama dan masyarakat Minangkabau secara umum.
Masyarakat Minang sangat mengakui peran ulama sebagai orang yang menyaring baik buruknya hal-hal yang terjadi di lingkungan masyarakat.
“Cabai adalah peran alim ulama, segala sesuatu baik atau buruk nanti akan diseleksi oleh para alim ulama,” jelasnya.
Namun dalam kehidupan modern saat ini ada peran yang mula tergeser di ‘Negeri Seribu Surau’ yakni peran dari mamak atau niniak mamak. Mereka yang semula menjadi sosok pemegang peran sentral perlahan-lahan mulai hilang.
Hilangnya pengaruh mamak atau niniak mamak dalam kehidupan masyarakat Minang mulai hilang pasca kasus Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) tahun 1958. Peran mamak atau niniak mamak seharusnya memiliki tanggungjawab terhadap para keponakan sebagaimana adat Minang tidak lagi dijalankan.
“Ketika itu pemerintah Pusat sangat represif kepada orang Minang pada masa itu,” ungkap Gusti Asnan, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Andalas (Unand), Padang.
Peran para tokoh adat Minang di masyarakat sejak saat itu diambil alih oleh para pejabat pemerintah seperti kepala desa, camat, bupati atau walikota.
“Kalau ada acara-acara yang banyak dipanggil adalah pejabat-pejabat daerah… Akhirnya apa penghulu-penghulu, mamak-mamak sebetulnya bagian dari masyarakat karena mereka tertekan, mereka dilarang ini dilarang ini akhirnya juga terpinggirkan,” jelasnya.
- Ketupat
Ketupat merupakan salah satu sajian makanan yang berasal dari beras yang dibungkus dengan janur (daun kelapa yang masih muda). Jika olahan roti Jala menjadi ciri khas di Medan maka olahan ketupat sangat familiar di kalangan masyarakat Jawa.
Senada dengan rendang, ketupat juga telah menjadi makanan yang banyak dikenal di Nusantara. Pada masa lebaran ketupat biasanya disantap dengan opor ayam, pada hari-hari biasa ketupat disajikan dengan sate.
Ketupat mulai dikenal oleh masyarakat Jawa semenjak era dakwah Islam. Sebagaimana akronim ‘ngaku lepat’ dalam bahasa Jawa yang berarti mengakui kesalahan.
Dalam pemaknaan ‘ngaku lepat’ akan ada tradisi lain yang juga lahir di Jawa yakni tradisi sungkeman.
Selain ‘ngaku lepat’ ketupat juga dimaknai ‘laku papat’, dikutip dari NU Online (11/6/2019) laku papat berarti laku empat. Laku empat itu terdiri dari lebaran, luberan, leburan dan laburan.
Lebaran artinya usai atau selesai sudah pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan. Luberan mempunyai artinya kelimpahan, bagi mereka yang memiliki harta berlebih bisa mengeluarkan zakat fitrahnya untuk diberikan pada si fakir yang membutuhkan.
Kata berikutnya ialah leburan yang mengandung maksud melebur. Terakhir ketupat dimaknai sebagi laburan yang artinya jernih kembali berwarna putih seperti labur (kapur).
Ketupat diyakini merupakan cara penyajian nasi dalam bentuk segi empat yang dibungkus dengan janur yang dianyam. Olahan berbahan beras ini sudah ada sejak era Kesultanan Demak terutama Sunan Kalijaga.
- Barongko Bugis
Barongko Bugis merupakan makanan manis yang berbahan dasar pisang. Makanan ini merupakan makanan khas Bugis yang pada masa lalu merupakan hidangan penutup yang disenangi para raja Bugis.
Kerajaan Bugis di Sulawesi merupakan salah satu dari kerajaan Islam yang mengalami Islamisasi oleh Kesultanan Gowa. Islamisasi di kerajaan Bugis dilakukan kepada tiga kerajaan yang tergabung menjadi satu yakni Bone, Wajo dan Soppeng.
Bagi masyarakat Bugis Barongko artinya kue kejujuran. Kue Barongko mengajarkan kepada para penikmatnya untuk selalu memegang teguh kejujuran, yakni adanya tindakan yang seiya sekata.
Keselarasan antara apa yang dipikirkan, dan dikerjakan. Hal ini ditandai dengan adanya sajian berbahan dasar pisang yang juga dibungkus dengan daun pisang.
Fakta di atas pun telah dibuktikan oleh seorang antropolog asal Universitas Sorbone Prancis, Christian Pelras dalam bukunya ‘Manusia Bugis’ menyebutkan tentag karakter orang-orang Bugis. Pelras mengatakan bahwa orang Bugis menjadikan agama Islam sebagai bagian integeral dari kehidupan mereka sehari-hari.
Orang Bugis merupakan sosok yang sangat keras dalam menjunjung tinggi kehormatannya. Selain sosok yang sangat keras ia juga sosok yang lembut, ramah dan memiliki rasa setiakawan.
Penulis: Kukuh Subekti
Redaktur: Tori Nuariza