ISLAMTODAY ID — Sultan Al-Malik As-Shalih seorang raja pertama dari Kesultanan Pasai namanya begitu hidup di hati masyarakat Aceh. Hari wafatnya tepat yang jatuh pada 15 Ramadhan 696 Hijriyah pun diperingati sebagai momentum untuk mengenang kiprah dan perjuangannya dalam mensyiarkan Islam di Asia Tenggara.
Sultan Al-Malik As-Shalih diyakini sebagai peletak dasar dakwah Islam di Kawasan Asia Tenggara.
“Peletak pondasi Islam di Kawasan Asia Tenggara yaitu Sultan Al-Malik As-Shalih,” kata Wakil Ketua Center for Information of Samudra Pasai Heritage (Cisah), Sukarna Putra dalam forum Kajian Milenial Bulanan Rabithah Thalibah Aceh (RTA) Aceh Utara yang berlangsung pada Senin malam (26/4).
“Inilah kubur orang yang dirahmati lagi diampuni, yang bertaqwa lagi pemberi nasihat, yang berasal dari keturunan terhormat dan terkenal lagi pemurah, yang ahli ibadah dan pembebas, yang digelar dengan Sultan Malik As-Shalih yang meninggal dunia pada bulan Ramadhan 696 Hijriyah. Semoga Allah melimpahkan rahmat ke atas pusaranya dan menjadikan surga sebagai tempat kembalinya.”
Pernyataan di atas adalah isi inkripsi batu nisan milik Sultan Al-Malik As-Shalih. Nama asli dari Sultan Al-Malik As-Shalih tidak diketahui pastinya, hanya saja para peneliti sepakat dengan nama Meurah Silu.
“Tentang nama beliau itu masih (berdasarkan) teori yang dikemukakan oleh para peneliti ada yang menyebutkan beliau bernama Meurah Silu,” tutur Sukarna.
Sukarna lantas menjelaskan tentang bagaimana sifat kepribadian yang dimiliki oleh sosok sultan yang bergelar raja yang saleh tersebut. Berdasarkan keterangan tertulis di batu nisan di atas ia menjelaskan satu per satu sifat-sifat utama sang sultan.
Ia mengatakan Sultan Al-Malik As-Shalih dikenal sebagai sosok pribadi yang bertaqwa. Selain menunjukan kapasitas dirinya sebagai seorang muslim bertaqwa, ia juga sosok pemimpin yang pemurah dan rendah hati.
Sifat yang paling menonjol dan berpengaruh dalam perkembangan sebuah kerajaan ialah sang pembebas. Hal ini erat kaitannya dengan kiprahnya sebagai seorang penguasa sebuah Kesultanan Islam, yang memiliki visi meluaskan kekuasaan Islam.
“Al-Fatih, orang yang melakukan pembebasan ataupun penaklukan… Gelar Al-Fatih pertama yang ditemukan di Asia Tenggara itu adalah milik Sultan Al-Malik As-Shalih,” tutur Sukarna.
Kisah kegemilangan dan kehebatan seorang sultan, raja, penguasa muslim pada masa lalu terdokumentasi dalam sebuah Kitab Tarikh Khulafa karya Imam As-Suyuthi. Sebuah kitab yang terbit pada abad ke-15 tersebut menjelaskan kepada generasi penerus tentang syarat-syarat dan kewajiban seorang sultan.
“Dalam kitabnya Tarikh Khulafa ataupun sejarah para pemimpin itu syarat menjadi seorang sultan ada tiga,”
“Yang pertama dia harus memiliki 10ribu bala tentara perang, jadi saat kita melihat Sultan Malik As-Shalih kemudian sampai sultan terakhir, Sultan Zainal A’bidin Ra-Ubabdar bin Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin Al-Malik Ash-Shalih yang jumlahnya sampai 22 orang sultan, mereka semuanya memiliki 10ribu bala tentara perang,” jelas Sukarna.
Syarat lainnya yang juga harus dijalankan oleh seorang sultan ialah kewajiban melakukan ekspansi, perluasan wilayah kekuasaan Islam. Selain itu seorang sultan juga wajib keluar untuk melaksanakan jihad.
Dakwah Islam Bermula
Kegiatan dakwah Islam di Samudra Pasai berlangsung dengan sangat damai. Bahkan situasi ini berlangsung juga sebelum Kesultanan Samudra Pasai resmi didirikan pada tahun 1270 M.
Sukarna mengungkapkan sebuah fenomena sosial keagamaan yang berlangsung di Aceh, sebelum era Kesultanan Pasai.
Fenomena tersebut ialah pemberian gelar tuan guru dalam bahasa Persia yang ditunjukan kepada pimpinan tarekat Naqsabandiyah. Sebuah gelar yang lazim diberikan pada awal-awal kebangkitan Islam di Asia Tenggara.
Sukarna menuturkan pula dakwah Islam yang berlangsung di wilayah kekuasaan Samudra Pasai sebelum kesultanan Islam itu berdiri. Paparan ini berdasarkan hasil kajian dari temuan tiga buah batu nisan, sebelum Sultan Al-Malik As-Shalih.
“Mereka ini adalah orang yang pertama melakukan dakwah dan jihad di Jalan Allah untuk menyebarkan Islam di Asia Tenggara. Dua batu nisan yang ada di Gampong Leubok Tuwe, Meurah Mulia, Kabupaten Aceh Utara itu adalah dua batu nisan yang bertarikh paling awal untuk seantero Asia Tenggara,” tutur Sukarna.
Sukarna mengungkapkan berdasarkan keterangan dalam batu nisan, pihaknya pun mengetahui bahwa dakwah Islam berlangsung damai tidak melalui peperangan. Para da’i tersebut menyebarkan Islam dengan cara yang santun dan lembut, dan budi pekerti yang luhur.
“Kalau kita merujuk pada epitaf, apa yang terpahat pada batu nisan tersebut (bermakna) orang yang dicintai hati banyak orang, begitu ramahnya, begitu hebatnya beliau ini menyebarkan agama Islam bukan dengan kekerasan,” ungkapnya.
Bukan hal yang mengherankan jika dikemudian hari Kesultanan Pasai menjadi kesultanan yang maju dan berkembang menjadi pusat peradaban dunia. Bahkan dengan metode dakwah tersebut dakwah Islam di Kesultanan Pasai bisa berkembang hingga kawasan Asia Tenggara.
Penulis: Kukuh Subekti / Redaktur: Tori Nuariza